Rabu, 03 Juni 2015

BALOK dan SELUMBAR (Bagian II)

Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.
Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” (Mat. 7:3-5)
Kita Diharuskan untuk Mengasihi dan Bukannya untuk Mengecam
Jadi Kita dapat memahami sekarang mengapa Tuhan Yesus mengatakan hal ini. Alasan dalam menghakimi, alasan mengapa kita tidak boleh menghakimi karena hal itu mengobarkan sikap mengutuk yang tidak boleh ada dalam diri setiap murid dalam hubungan mereka dengan orang lain. Kita hadir di dunia ini untuk saling mengasihi dan bukannya untuk menempatkan diri di atas orang lain. Tetapi mungkin akan ada yang berkata, "Tetapi Kita sendiri mengatakan bahwa Tuhan Yesus tidak mengijinkan kita untuk membutakan mata terhadap dosa". Dan tidak ada satu orang pun yang tidak berdosa, jadi kita merasa memiliki banyak amunisi. Tidakkah itu berarti bahwa saya boleh menatap ke arah orang lain dan berkata, "Aha, orang ini berdosa, saya akan mengecamnya?” Untuk hal ini dibutuhkan dari setiap orang kemampuan dalam berkomunikasi dengan memahami pemikiran orang lain, yang mana orang lain itu sering kali berlaku dengan pikirannya sendiri, dan bukan dengan pemikiran kita, maka pemahaman seperti ini sangat dibutuhkan untuk menghindari sikap mengecam. Yesus berkata bahwa kita tidak boleh menutup mata terhadap dosa. Jadi bagaimana dengan dosa kita sendiri? Jika kita berdebat dengan cara ini, hal itu hanya menunjukkan sekali lagi bahwa kita masih belum memiliki sikap yang benar. Sikap adalah titik awal. kita dapat melihat hal itu di dalam cara orang bertutur-kata terhadap kita tentang hal-hal ini. Jika kita benar-benar mengasihi seseorang, kita tidak akan memiliki alasan untuk mengecam orang lain.
Jadi hal ini menjadi pokok yang sangat menarik bagi yang mempelajari teologi. penganut aliran liberal adalah kelompok yang paling kritis. Mereka akan selalu siap untuk mengecam setiap orang. Kritik mereka anggap sebagai kebenaran. Mereka berpendapat bahwa orang yang belajar teologi berarti memasuki pelatihan untuk mengkritik. Jika kita tidak mengkritik maka kita bukanlah teolog yang baik. Dan apa yang mereka lakukan? Mereka mengkritik Paulus, mereka mengkritik Yohanes. Mereka berkata bahwa Paulus plin-plan di bagian ini dan bagian itu. Ini semua, mereka anggap sebagai bagian dari kecendekiawanan mereka, dengan cara itulah kita harus berbicara. Kenyataannya, di dalam tangan kaum liberal, tidak ada satu orang pun yang tidak dapat dikritik. Setiap orang dikecam dengan berbagai cara, mulai dari para nabi sampai para rasul Perjanjian Baru. Semua orang dikritik. Teolog liberal merasa berhak mengkritik setiap orang. Orang-orang ini merasa bahwa mereka lebih tahu dari Paulus, Yohanes, Yesaya maupun Yeremia. Mereka lebih tahu dari setiap orang. Hal yang paling disayangkan dari orang-orang seperti Paulus dan Yohanes adalah bahwa mereka tidak pernah mendapat kesempatan untuk duduk bersimpuh di kaki para teolog besar abad ke duapuluh ini. Sekiranya saja mereka mendapat kesempatan itu, maka mereka akan menjadi lebih besar dari apa yang sudah ada, begitu menurut para teolog ini. Dan sekali kita melakukan hal yang seperti itu, kita tidak akan terkejut jika saya berkata bahwa kita akan mengkritik bahkan Yesus sendiri. Kita tidak dapat lagi melihat batasan, sekali kita mengambil sikap seperti itu, di mana kita akan berhenti?
Jadi saudara-saudara, berhati-hatilah dalam menelaah ucapan Yesus dan sikap yang benar tidak akan membuat kita merasa "Karena saya seorang teolog, seorang cendekiawan, maka tugas saya adalah mengkritik orang lain." Allah tidak pernah memberi kita tugas seperti itu, maka kita harus mempertimbangkan untuk berhenti melakukan tugas seperti itu. Di dalam Galatia 5:15, rasul Paulus mengingatkan jemaat di Galatia dengan kata-kata seperti itu. Ia berkata, "Tetapi jikalau kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan". Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang di Galatia sudah jatuh dalam kesalahan yaitu tidak mendengarkan pengajaran Yesus ini. Mereka merasa bahwa mereka dapat mengkritik setiap orang. Itu tidak apa-apa, sudah tugas kita. Dan Paulus berkata, "Tetapi jikalau kamu saling mengigit dan saling menelan", artinya saling memakan, maka kamu semua akan menelan habis satu sama lain. Pada akhirnya tidak akan ada yang tersisa. Paulus berkata, "Jika kamu saling menggigit seperti hewan aduan, maka kamu akan saling memakan." Kita pikir, jika kita masuk di tengah jemaat seperti ini, kesaksian macam apa yang dapat kita tampilkan kepada orang Kristen yang baru atau kepada orang yang bukan Kristen? Jika kita mengasihi Allah, dan jika kita mengasihi umatNya, kita mengasihi jemaatNya, akankah kita datang ke Persekutuan Jemaat dan berkata, "Saya tidak setuju dengan kamu, dan saya juga tidak senang dengan kamu.” Kesaksian macam apa ini? Jika kita tidak setuju dengan seseorang, datang dan berbicaralah kepada mereka secara baik-baik, selesaikan persoalan tersebut dengan mereka. Kita tidak perlu menyiarkan perkara ini kepada setiap orang bahwa kita sedang berselisih dengan seseorang. Apakah kita tidak mempedulikan ketenteraman orang Kristen yang baru dan orang non Kristen? Tidakkah Tuhan Yesus berkata, "Dengan inilah setiap orang akan mengetahui bahwa kamu adalah muridKu, bahwa kamu sekalian saling mengasihi." Dan kita sudah memahami bahwa di mana ada watak pengecam, maka tidak ada kasih.
Rahasia Kehidupan Kristen - Efek Timbal Balik dari Tindakan Kita
Sekarang kita sampai pada bagian kesimpulan. Di sini Tuhan Yesus memberi kita peringatan dan dorongan sekaligus, dimana peringatannya adalah: Ia berkata di awal Matius pasal 7, "Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu." Ukuran yang kita tetapkan akan menjadi ukuran yang kita hadapi. Dengan ini diberitahukan kepada kita bahwa hal ini adalah prinsip penting yang menjadi dasar yang harus diketahui oleh setiap orang Kristen. Inilah rahasia kehidupan orang Kristen yang perlu kita ketahui benar-benar. Apa rahasia itu? Bagaimana cara kita bertindak akan menjadi cara yang dipakai Allah dalam berurusan dengan Kita. Terapkanlah prinsip ini, dan kita akan melihat bahwa hal itu mencakup keseluruhan kehidupan Kristen kita. Ini adalah prinsip terpenting yang perlu dipahami oleh setiap orang Kristen. Jika kita tidak mengampuni seorang saudara seiman, maka kita pun tidak akan diampuni. Kita menghakimi saudara seiman, maka Allah akan menghakimi kita. Semakin berat kutukan kita, semakin berat pula Allah akan mengutuk kita. Sangat mengerikan. Ini adalah bagian peringatan dari ajaran Tuhan Yesus.
Kita dapati prinsip ini diterapkan di dalam Alkitab dari yang secara harafiah sampai kepada bagian yang lebih terperinci. Kita lihat contohnya. Daud melakukan dosa yang berat ketika ia merampas istri orang lain. Namun dia secara aneh dapat lolos dari jerat hukum. Alasannya adalah karena dia seorang raja. Ia mengambil perempuan ini dari suaminya dengan cara yang tampaknya tidak menyalahi hukum Taurat. Karena ia seorang raja dan pimpinan tertinggi angkatan perang. Dan suami perempuan ini adalah seorang prajurit dalam pasukannya. Dan yang lebih mengerikan adalah suami perempuan ini seorang yang sangat setia dan sangat diandalkan dalam pasukan. Jadi dalam rangka merebut istrinya, Daud menjalankan tindakan yang jahat. Ia mengirim laki-laki ini ke medan perang dengan titipan pesan kepada panglima di lapangan untuk menempatkannya di bagian yang paling berbahaya dalam perang. Lalu laki-laki ini terbunuh. Apakah Daud melakukan hal yang melanggar hukum? Tidak! Ia melakukannya sesuai kewenangan yang dimilikinya. Di dalam hukum manusia, ia tidak berbuat salah. Dan tentu saja, sesudah suaminya meninggal, Daud bebas untuk menikahi perempuan itu. Sekali lagi, tidak ada pelanggaran hukum. Tidak ada yang salah bagi seorang laki-laki yang menikahi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya.
Tetapi mata Allah tertuju pada hatinya. Sekalipun ia tidak bersalah di bawah hukum manusia, mata Allah melihat isi hati Daud dan apa alasan dari semua perbuatannya. Lalu terdapat seorang hamba Allah, Natan, orang yang tidak kita ketahui banyak tentang dirinya. Ia bukanlah nabi yang terkenal, datang dan berbicara kepada Daud. Dan Natan berkata, "Tuanku, saya ingin mengadukan satu perkara kepadamu." Dan ia mulai menjelaskan perkara itu kepada Daud, yang sebagai raja juga merupakan hakim. Daud memutuskan hukuman atas perkara ini. Begini ceritanya. Natan bercerita tentang seseorang yang memiliki seekor anak domba betina, dan itu satu-satunya domba miliknya. Anak domba betina ini sangat berharga bagi orang tersebut sehingga tidur pun di atas pangkuannya. Peliharaan yang paling disayanginya karena memang itulah satu-satunya yang ia miliki. Lalu ada seorang kaya yang memiliki banyak kambing domba tetapi ia menghendaki anak domba betina si miskin ini. Lalu ia merampas anak domba itu dari si miskin. Dan Daud menjadi sangat marah atas hal itu. Kita lihat di sini, ia dapat melihat selumbar di mata orang tetapi tidak dapat melihat balok yang ada di matanya sendiri. Ia sangat marah, "Sangat keterlaluan orang ini, ia sudah punya banyak domba tetapi masih mengambil domba si miskin." Lalu ia berkata, "Aku tetapkan bahwa ia harus mengganti rugi empat kali lipat." Dengan kata lain, satu anak domba yang sudah diambilnya itu, harus diganti dengan empat ekor.
Lalu Natan menatap ke arah Daud dan berkata, "Engkaulah orang itu". Apa yang terjadi? Daud sudah menyatakan penghakiman atas dirinya sendiri. Daud menetapkan penghakiman dan Natan berkata "Engkaulah orang itu". Domba yang diambil oleh Daud adalah istri perwira tersebut. Dan Allah menjatuhkan hukuman tepat seperti yang sudah ditetapkan oleh Daud. Daud kehilangan empat anaknya. Sungguh luar biasa Firman Allah, begitu tepat. Daud harus menebus sesuai dengan penghakiman yang sudah ia tetapkan, yang sudah ia ucapkan sendiri. Di dalam kenyataannya, peristiwa kematian pertama terjadi hanya beberapa ayat kemudian di dalam 2 Samuel 12:5-6, kita dapat membaca bagian itu. Lalu kita dapati di dalam ayat 14 terjadi kematian yang pertama. Belakangan kita melihat lagi peristiwa kematian anak Daud yang dibunuh oleh putranya yang lain. Tragedi menyedihkan yang memperlihatkan watak saling membunuh di antara sesama anak. Dan begitulah selanjutnya sampai Daud kehilangan empat puteranya. Kita lihat di sini bahwa apa yang keluar dari mulut kita, ukuran yang kita pakai untuk menghakimi, akan kita hadapi dalam penghakiman Allah.
Dan jika kita sudah memahami hal ini, maka kita tidak akan pernah takut dan menahan-nahan bantuan kita terhadap orang lain. Pernah terjadi seorang saudara seiman yang sedang membutuhkan uang mendapat bantuan dari saudara yang lain. Dan ketika ia menerima uang itu, ia mendapati ada saudara lain yang lebih memerlukan uang tersebut, dan ia menyerahkan uang pinjaman itu untuk memberi pertolongan. Tidak peduli pada keperluannya sendiri, ia memberikan uang itu kepada orang yang lebih membutuhkan. Lalu Allah menyediakan baginya uang lagi bagi keperluannya. Hasilnya kita lihat sendiri, tidak pernah ada kekurangan, karena semakin banyak kita memberi akan semakin banyak pula kita menerima. Ini adalah prinsip yang dapat kita uji dalam kehidupan sehari-hari, jika kita memiliki iman dan keberanian untuk mencobanya, karena iman dan keberanian berjalan bersama. Banyak orang menjadi penakut karena mereka tidak memiliki iman. Banyak orang yang ingin tahu, bagaimana saya bisa mengetahui bahwa Allah itu nyata? Allah sudah menyediakan satu prinsip di sini yang dapat kita pakai untuk membuktikannya. Sangat mudah bagi kita untuk mencobanya. Bukankah sangat indah bahwa di dalam Alkitab, Allah tidak menyuruh kita untuk memiliki iman yang buta? Ia menyatakan bahwa semakin banyak kita memberi, semakin banyak kita menerima, ukuran yang kita tetapkan menjadi ukuran yang kita hadapi. Kita dapat membuktikannya. Sangat mudah untuk dibuktikan, tetapi jangan membuktikannya melalui cara Daud. Ia menetapkan hukuman empat kali lipat dan ia mendapatkannya, jangan pernah mencoba bagian yang itu.
Mari kita masukkan pelajaran ini ke dalam hati kita, prinsip yang indah ini, peringatan dan dorongannya, kita jalankan itu, kita buktikan, kita lihat dan kita nikmati kebenaran bahwa Allah itu baik.

Ditulis Oleh : Bp. Yohanes Sihombing
---oooOooo---

BALOK dan SELUMBAR (Bagian I)

Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.
Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” (Mat. 7:3-5)
Perumpamaan di atas dipakai Tuhan Yesus untuk memberikan gambaran dan penjelasan kepada kita mengenai beberapa pengajaran yang sangat penting berkaitan dengan hubungan antara sesama di dalam Persekutuan Jemaat, terutama dalam hal sikap dan perilaku menghakimi. Apa itu hubungan yang sejati di antara orang Kristen atau haruskah setiap orang Kristen saling berhubungan di antara sesama mereka? Di sini Ia memberi kita peringatan dan dorongan.
Orang yang Menghakimi akan Menghadapi Penghakimannya Sendiri
Tuhan Yesus berkata, "Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu", selumbar adalah benda yang sangat kecil, "kamu sangat mampu melihat selumbar di mata saudaramu tetapi kamu tidak mampu," di sini Tuhan Yesus menggunakan gambaran yang sangat lucu, "melihat balok di matamu". Balok yang dibicarakan ini adalah balok yang biasa dipakai sebagai penyangga atap atau yang dijadikan tiang utama dari sebuah rumah. Biasanya berasal dari batang utama sebuah pohon yang sisi-sisinya dipotong persegi dan kemudian dipasang sebagai tiang utama. Tuhan Yesus gemar memakai kata atau frasa-kalimat yang ekspresif, sehingga kita dapat melihat perbedaan yang sangat mencolok, dan oleh karena itu akan membuat gambaran yang diberikan menjadi tergambar sangat jelas.
Menghakimi - Cerminan Sikap Merasa Unggul
Mari kita perhatikan lebih teliti lagi pengajaran yang disampaikan oleh Tuhan Yesus. Pertama, Tuhan Yesus berkata, "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi." (Mat. 7:1). Menghakimi merupakan suatu kewenangan, kewenangan dari penguasa. Seorang hakim akan bertindak sebagai orang yang memiliki kewenangan atas diri kita. Jika kita berbuat salah, pemerintah akan memanggil kita, atau menyeret kita ke pengadilan, atau jika ada dua orang yang berselisih, mereka membawa persoalan tersebut kepada pihak yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi. Hakim merupakan perwujudan dari pihak yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi. Jadi pada saat Tuhan Yesus berkata, "Jangan menghakimi", yang Ia maksudkan adalah, setiap orang dari antara kita tidak boleh menempatkan diri di atas orang lain. Ini adalah persoalan yang sangat mendasar di dalam hubungan sesama manusia, setiap orang ingin menganggap bahwa dirinya sendiri lebih baik dari orang lain dan dengan demikian merasa berhak untuk menghakimi orang lain. Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa sikap yang sedemikian di antara orang Kristen merupakan sumber masalah di dalam Persekutuan Jemaat. Di sini Tuhan Yesus sedang menangani suatu sikap. Sikap merasa lebih unggul dari orang lain.
Alkitab juga mengajarkan bahwa kita harus belajar untuk saling merendahkan diri antara satu dengan yang lainnya, tunduk terhadap satu dengan lain, bukannya berlaku seperti orang penting di hadapan yang lainnya. Itu sebabnya di dalam Yohanes 13, Tuhan Yesus membasuh kaki murid-muridNya dan mengatakan bahwa apa yang sudah Ia lakukan atas mereka harus mereka lakukan pula terhadap orang lain. Membasuh kaki orang lain berarti menjadi budak orang lain itu karena hal itu adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang budak bagi tuannya; membasuh kaki majikannya. Itu sebabnya mengapa di dalam Filipi 2:3 dan Efesus 5:21 sekaligus, Paulus berkata "Rendahkanlah dirimu seorang akan yang lain". Jangan malah berusaha untuk menjadi tuan atas orang lain, jadilah hamba bagi orang lain. Untuk tujuan itulah kita dipanggil olehNya. Saya meminta kita untuk memikirkan bahwa kalau di dalam Persekutuan Jemaat kita benar-benar dapat hidup seperti ini, benar-benar merendahkan diri di hadapan orang lain dengan setulus hati, seperti apa jadinya perubahan perilaku jemaat di dalam Persekutuan Jemaat? Seperti apa jadinya Persekutuan Jemaat jika kita tidak melirik ke arah orang lain dan menilai bahwa kita tidak lebih buruk dari pada dia? Mengapa kita tidak mengekang hasrat untuk membandingkan diri ini, bukankah hal itu sepenuhnya wewenang Allah? Perilaku yang ingin menang sendiri ditujukan untuk menaikkan harga diri, ego kita, agar kita merasa bahwa diri kita memiliki arti di dunia ini. Namun manusia rohani tidak peduli dengan urusan nilai harga dirinya. Ia hanya memperhatikan apa yang Allah nilai dari dirinya dan hal itu membawa dampak yang kekal.
Tuhan Menghargai Orang yang Rendah Hati
Ada satu pelajaran yang diberikan oleh Tuhan kepada saya sepanjang waktu yaitu, "Jika kita ingin menjadi yang terbesar, maka kita harus menjadi yang terkecil di antara yang lain," menjadi hamba bagi yang lain. Jika Kita ingin menjadi yang terbesar di mata Allah, maka Kita harus menjadi yang terkecil di antara saudara-saudara seiman. Semakin Kita merasa berharga di dalam penilaian pribadi, atau di mata orang lain, semakin tidak berarti diri kita di mata Allah.
Jika kita lihat dari dalam Matius 23, "Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik". Padahal ahli-ahli Taurat adalah mereka yang mendalami kitab suci. Namun lihatlah betapa lembutnya Ia kepada mereka yang sakit, lemah, remuk hati; orang-orang yang dipkitang sepele oleh masyarakat. Sikap Yesus inilah yang harus kita teladani. Yang kita lihat sekarang ini adalah perilaku banyak sekali orang Kristen yang seperti orang dunia. Dan jika mereka datang ke Persekutuan Jemaat, mereka menjadi orang-orang penting karena mereka adalah orang penting di luar Persekutuan Jemaat. Kita tidak meneladani bagaimana Allah menilai orang.
Kita harus belajar untuk menghormati terutama mereka yang paling rendah di antara kita. Orang-orang penting itu sudah mendapat penghormatan yang cukup dari dunia dan kita tidak perlu menambah besar kepala mereka. Jadi kita harus miliki sikap dasar yang satu ini, perubahan sikap seperti yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, yaitu kita tidak bergiat untuk meninggikan diri atau sebaliknya menjilat orang lain.
Tidak Menghakimi bukan Berarti Membutakan Mata terhadap Dosa
Di sini kita perlu mempertanyakan, demi pemahaman yang lebih tepat pada ajaran Tuhan Yesus, ketika Tuhan Yesus berkata "Jangan menghakimi", selain dari persoalan sikap, hal apa lagi yang Ia maksudkan? Pertama-tama perlu ditekankan sekali lagi bahwa hal utama yang Ia maksudkan adalah perkara sikap ketimbang tindakan. Jika kita memiliki sikap yang benar, maka kita tentu tidak mau melakukan hal yang salah. Namun sekalipun kita sudah melakukan tindakan yang benar, belum tentu sikap kita benar pula pada saat melakukan hal tersebut. Jadi ketika Tuhan Yesus berkata "Jangan menghakimi", apakah Ia sedang mengajarkan kita, sebagai contoh, untuk membutakan mata terhadap dosa yang terjadi di tengah jemaat? Ketika dosa terjadi di dalam Persekutuan Jemaat, saat ada perkara kesalahan yang serius terjadi di dalam jemaat, sebagai contoh, memberi penghormatan karena seseorang adalah orang penting di dunia, atau dosa yang lebih parah daripada itu, apakah kita harus membutakan mata kita dan berkata, "Saya tidak boleh menghakimi. Orang itu boleh berbuat dosa, semua orang boleh berbuat dosa, itu semua bukan urusan saya?” Atau mungkin ada seorang nabi palsu yang datang dan mengajarkan kesesatan kepada kita, haruskah kita berkata, "Saya tidak dapat menghakimi, biarkan saja dia mengajar sesuka hatinya"? Atau jika ada serigala berbulu domba yang masuk ke tengah jemaat dan memangsa domba-domba, kita hanya berkata, "Tidak dapat kita menghakimi dia. Kita menyebut dia serigala berbulu domba, berarti kita sudah menghakimi dia. Lebih baik saya tutup mulut."
Jadi kita melihat bahwa perkataan Tuhan Yesus "Jangan menghakimi" tidak dimaksudkan agar kita menutup mata terhadap dosa. Lebih dari itu, khususnya bagi para pengajar, ada tanggungjawab yang besar untuk bertindak melawan dosa, melawan dosa yang hendak menjerat jemaat secara keseluruhan. Di dalam Perjanjian Lama kita melihat para nabi, hamba-hamba Allah, berseru kepada segenap bangsa Israel, mengutuk dosa-dosa yang dilakukan oleh bangsa Israel. Tentu saja orang Israel tidak akan mencintai nabi-nabi tersebut karena teguran mereka yang keras itu. Yeremia dilemparkan ke dalam lubang dan diharapkan mati di sana, untunglah ada orang yang datang dan menolongnya. Bangsa Israel membenci para nabi karena mereka berteriak keras terhadap dosa-dosa.
Berbicara dengan Sikap yang Dilandasi oleh Kasih dan Kepedulian yang mendalam
Jadi ketika Tuhan Yesus berkata "Jangan menghakimi", Ia tidak menyuruh kita untuk membutakan mata terhadap dosa namun kita harus menyerang dosa dengan sikap yang benar. Lebih dari itu, rasul Paulus berkata kepada kita bahwa para pimpinan Persekutuan Jemaat memiliki tanggungjawab untuk menghakimi jemaat. Apakah lalu kita mendapati suatu pertentangan antara ucapan Paulus bahwa "ia menghakimi" dan di pihak lain Yesus berkata, "Jangan menghakimi"? Di dalam 1 Korintus 5:3, rasul Paulus berkata, "Telah menjatuhkan hukuman atas dia". Yaitu terhadap orang yang telah melakukan satu dosa besar di dalam jemaat; melakukan hubungan seksual dengan anggota keluarga sendiri. Paulus di sini mengumumkan penghakiman dan menjatuhkan hukuman atas orang yang melakukan dosa yang mengerikan ini. Bagaimana mungkin Paulus menjatuhkan hukuman padahal Tuhan Yesus berkata "jangan menghakimi"? Itulah sebabnya mengapa kita perlu memahami hal penting yang pertama dari pernyataan itu. "Tidak menghakimi" menurut Tuhan Yesus berkaitan erat dengan masalah sikap.
Hal yang kedua perlu kita pahami sejalan dengan penelaahan kita terhadap ajaran Tuhan adalah melihat konteksnya secara keseluruhan. Yesus berkata kepada murid-muridNya untuk tidak menghakimi, namun di dalam lingkungan Persekutuan Jemaat ada beberapa orang yang diberi tanggungjawab besar untuk menghakimi. Jadi, tidak menghakimi merupakan satu pedoman umum, namun ada beberapa orang di dalam Persekutuan Jemaat, seperti tua-tua dan para pemimpin yang lain yang memegang tanggungjawab untuk menghakimi sebagaimana contoh yang terdapat di dalam 1 Timotius 5:17.
Dalam hal menghakimi. Kata "hakim" di sini dipahami dalam pengertian mengutuk, yaitu menjatuhkan hukuman ke atas seseorang atau menetapkan hukuman yang akan dijatuhkan atas seseorang. Jadi kita dapati di sini bahwa menghakimi, mengutuk, secara jelas bertentangan dengan keselamatan, dikaitkan dengan isi Matius pasal 7. Di dalam Yohanes 12:47, kita dapati bahwa Tuhan Yesus datang bukan untuk menghakimi tetapi untuk menyelamatkan. Di sini kita dapati ada perbedaan antara menghakimi dengan menyelamatkan, antara mengutuk dan menyelamatkan, antara mengucilkan seseorang dengan memaafkan dosanya. Kita lihat bahwa pada saat kita menghakimi, mengutuk seseorang, maka kita tidak sedang mempedulikan keselamatannya. Jadi semua itu menunjukkan kepada kita bahwa sikap kita terhadap saudara seiman tidak boleh dilandasi oleh pikiran bahwa kita lebih baik daripada mereka. Jika seorang pendeta merasa lebih baik daripada orang lain di dalam Persekutuan Jemaat, ia tidak layak menjadi pendeta. Di dalam pengertian mengutuk, tidak ada seorangpun yang diberi kewenangan untuk itu di dalam lingkungan jemaat. Namun di dalam pengertian menyatakan penghakiman berdasarkan Firman Allah, kewenangannya diberikan kepada para hamba Allah. Akan tetapi sekalipun demikian, pelaksanaanya tidak pernah dilakukan didalam semangat untuk mengutuk, melainkan untuk menyelamatkan. Jadi di dalam 1 Korintus 5, sebagai contoh, ketika Paulus menghukum orang tersebut dengan kebinasaan tubuh, tujuan akhirnya tetap agar supaya rohnya dapat diselamatkan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Paulus dalam ayat yang sama. Tak seorangpun, tidak satu manusiapun diberi kewenangan untuk mengutuk atau menjatuhkan hukuman secara final, yang berarti memisahkan orang tersebut dari keselamatan.
Kasih kepada Diri Sendiri Membutakan Kita dari Kenyataan Hidup Kita
Tuhan Yesus mengajukan pertanyaan ini: mengapa kamu melihat selumbar di mata saudaramu tetapi balok di matamu sendiri tidak kau lihat? Ini adalah pertanyaan yang menarik, mengapa? Apa jawaban Kita terhadap pertanyaan ini? Mengapa kita begitu terampil dalam melihat kesalahan orang lain namun buta terhadap kesalahan sendiri? Lalu apa jawaban kita terhadap pertanyaan Yesus ini? Jika kita mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan ini, kita akan mendapati bahwa Kita sedang disoroti oleh mata rohani yang sedang menyelidiki isi hati kita.
Jawabannya jelas, dan jawaban itu adalah karena kita sebenarnya tidak pernah mengasihi orang tersebut sama sekali. Dan mengapa kita tidak dapat melihat balok di mata kita sendiri? Itu karena kita mengasihi diri kita sendiri. Mengapa dikatakan "cinta itu buta". Buta, mereka tidak dapat melihat kesalahannya. Kasih seperti ini, jika kita mengasihi diri kita sendiri sedemikian rupa, maka kita tidak akan dapat melihat kesalahan kita sekalipun sebuah balok melekat di mata kita, kita tidak akan memperhatikannya. Karena kita tidak mengasihi orang lain, maka semua kesalahan mereka akan langsung tampak.

Ditulis Oleh : Bp. Yohanes Sihombing
…(bersambung)…

Kamis, 14 Mei 2015

Allah Tritunggal

Pengantar

Penting untuk diketahui bahwa doktrin atau ajaran tentang Allah Tritunggal hanya ada di dalam Kekristenan. Jadi, boleh dikatakan bahwa ini adalah salah satu keunikan agama Kristen. Ajaran seperti ini tidak ada di dalam agama lain. Bukan saja tidak ada, ajaran seperti ini ditentang oleh agama tertentu di mana pemahaman seperti ini dianggap bertentangan dengan natur atau keberadaan Allah itu sendiri.

Allah Tritunggal atau Trinity God adalah pemahaman akan Allah yang memiliki tiga oknum yang berbeda (hypostasis) tapi di dalam satu keberadaan (essensi atau substansi), yaitu Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Pemahaman ini berbeda dengan Unitarianisme yang menekankan keesaan Allah dan menyangkali oknum Anak (Yesus Kristus) dan Roh Kudus sebagai Allah yang setara dengan YHWH.

I. Pandangan Bapak-bapak Gereja

Sekalipun pemikiran tentang Allah Tritunggal telah dimulai pertama kali pada abad kedua oleh Athenagoras, namun doktrin ini secara jelas diajarkan pada abad ketiga oleh Tertullian (fl.c.196-c.212). Tertullian menegaskan bahwa hanya ada satu Allah dengan tiga oknum yang berbeda. Namun pemahaman Tertullian yang dikenal dengan “economic Trinitaniarism” kelihatannya bermasalah, di mana Tertullian memahami bahwa Allah Bapa menggunakan kedua ‘tanganNya’, yaitu Anak dan Roh Kudus sebagai perantara untuk menciptakan dunia. Sejarah kehidupan manusia dibagi menjadi tiga periode di mana ketiga oknum dari Allah Tritunggal bekerja secara berurutan pada masing-masing periode tersebut. Perjanjian Lama merupakan periode Bapa, Perjanjian Baru hingga hari Pentakosta merupakan periode Anak, dan akhirnya, mulai dari hari Pentakosta dan seterusnya merupakan periode Roh Kudus.

Tentu saja pandangan tersebut di atas kurang memuaskan, karena membatasi Allah pada periode tertentu saja. Pandangan ini juga membuka peluang bagi pemahaman Modalistik atau Monarchianisme. Pandangan Monarchianisme ini juga disebut sebagai Sabellianisme sesuai nama pencetusnya, yaitu Sabellius yang hidup pada abad ketiga. Menurut pandangan ini, sebenarnya hanya ada satu oknum Allah, bukan tiga oknum. Allah yang Esa tersebut menyatakan diri dengan tiga cara, atau tiga manifestasi. Sebagai pencipta alam semesta, Allah muncul sebagai Bapa; kemudian, sebagai Penebus manusia, Allah muncul sebagai Anak dan akhirnya Roh Kudus muncul sebagai pribadi yang menguduskan. Untuk menjelaskan hal ini, seringkali orang mengambil ilustrasi es, air dan uap. Pada temperatur di bawah 0 derajat kita menemukan zat es, sedangkan di atas temperatur 0 derajat es tersebut akan berubah menjadi air, dan pada temperatur di atas 100 derajat air itu akan berubah menjadi uap. Ada juga yang menggambarkannya dengan seorang yang berperan sebagai ayah di rumah, tapi di kantor sebagai pimpinan dan pada kesempatan lain sebagai orang yang bermain golf. Artinya, orang yang sama dan yang satu itu berperan sebagai ayah, pimpinan dan pemain golf. Pengajaran inipun tidak memuaskan karena tidak sesuai dengan pengajaran Alkitab.

Jika Sabellianisme berusaha menghindari tuduhan bahwa dia menganut paham politheisme (percaya kepada banyak Allah) dengan mempertahankan sifat keesaan Allah dan menolak adanya ketiga oknum yang berbeda dalam Allah Tritunggal, tidak demikian dengan Arianisme oleh Arius (c. 250-336). Arius mengakui adanya ketiga oknum dalam diri Allah, yaitu Bapa, Anak dan Roh. Namun menurut Arius, Anak subordinate dengan Bapa, demikian juga dengan Roh Kudus. Karena itu, Anak tidak memiliki kekekalan yang sama (co-eternal) dengan Bapa. Anak juga tidak dapat disejajarkan dengan Bapa, melainkan lebih rendah dari Bapa, sedangkan Roh Kudus lebih rendah dari Anak.

Pemahaman Sabellianisme tersebut ditentang oleh Athanasius (c. 297-373), di mana dia menegaskan bahwa Bapa memiliki substansi yang sama dengan Anak dan Roh Kudus (Yunani, Bapa homoousia dengan Anak dan Roh Kudus. Homo artinya sama, sedangkan ousia artinya zat, atau substansi. Perlu diketahui dua kata yang hampir mirip tetapi mengandung arti yang berbeda, yaitu “homo” dengan “homoi”. Yang pertama berarti sama, sedangkan yang kedua berarti mirip atau seperti.). Karena Bapa memiliki substansi yang sama dengan Anak dan Roh Kudus, maka Bapa juga memiliki kekekalan yang sama dan setara dengan Anak dan Roh Kudus. Sidang oikumene pertama (sidang yang mempersatukan Gereja Barat dan Timur) yaitu konsili Nicea pada tahun 325 meneguhkan bahwa Yesus adalah Allah dan sehakekat dengan Bapa. Penegasan bahwa Anak sehakekat dengan Bapa terlihat dengan penggunaan kata bahwa Anak homo ousia dengan Bapa Selanjutnya konsili Konstantinopel pada tahun 381 meneguhkan bahwa Roh Kudus adalah Allah yang setara, sehakekat dan memiliki kekekalan yang sama dengan Bapa dan Anak.

Setelah mendiskusikan hal di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kepercayaan kepada Allah Tritunggal merupakan satu pengakuan kepada Allah yang Esa (dalam esensi atau substansi) namun memiliki tiga oknum yang berbeda. Pengakuan ini meneguhkan bahwa Bapa, Anak dan Roh adalah Allah yang sehakekat, setara dan memiliki kekekalan yang sama (co-existence, co-equal dan co- eternal).
Beberapa hal yang perlu dihindari, yaitu:

1.Menyangkali keesaan Allah (Arianisme)
2.Menyangkali adanya ketiga oknum yang berbeda (Sabellianisme)
3.Menyangkali kesetaraan Allah Bapa, Anak dan Roh
Hal pertama yang perlu kita tegaskan adalah bahwa kita tidak menemukan istilah Allah Tritunggal di dalam Alkitab. Karena itu, ada sebagian orang yang menolak pandangan Allah Tritunggal karena menurut mereka istilah itu tidak pernah ditemukan di dalam Alkitab, baik di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Selanjutnya, mereka itu menyatakan bahwa ajaran Allah Tritunggal hanya merupakan ciptaan dari bapak-bapak Gereja mula-mula. Benarkah demikian? Jawabnya adalah, memang istilah Allah Tritunggal tidak ditemukan, baik di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Jika kita melihat perkembangan doktrin Tritunggal tersebut, memang hal itu tidak terlihat secara jelas dinyatakan di dalam Perjanjian Lama. Umat Allah di dalam Perjanjian Lama malah terus menerus diperingatkan bahwa “Allah itu esa” (Ulangan 6:4). Hukum Taurat pertama dari sepuluh Hukum Taurat menegaskan: “Jangan ada padamu allah lain di hadapanKu” (Kel.20:3). Itulah sebabnya umat Allah di dalam Perjanjian Lama hanya beribadah kepada YHWH.

Namun demikian, kehadiran Yesus Kristus dan Roh Kudus di Perjanjian Baru membuat pemahamaman akan keesaan Allah tersebut perlu dipikirkan ulang. Siapakah Yesus Kristus? Siapakah Roh Kudus? Apakah Yesus manusia biasa, atau sekedar seorang nabi seperti nabi lainnya di dalam Perjanjian Lama? Penulis-penulis Perjanjian Baru memberi pengajaran bahwa Yesus dan Roh Kudus adalah pribadi Allah juga. Sekalipun terjadi pro-kontra di dalam gereja mula-mula tentang pribadi Yesus, namun akhirnya, pada tahun 325 hal itu dapat diselesaikan melalui sidang oikumene (konsili) pertama di Necea bahwa Yesus adalah Allah. Pengakuan bahwa Yesua adalah Allah diteguhkan dalam konsili-konsili selanjutnya, seperti Konsili Efesus (431), Chalcedon (451). Demikian juga keAllahan Roh Kudus diteguhkan melalui Konsili kedua di Konstantinopel pada tahun 381. Jika demikian halnya, apakah Alkitab mengajarkan adanya tiga Allah? Tentu saja tidak, sebab sebagaimana kita lihat pada Hukum Taurat pertama, Allah menegaskan untuk tidak menyembah Allah lain di luar Dia. Pengakuan kepada Allah yang esa merupakan pengakuan mutlak yang tidak dapat ditawar- tawar (Ulangan 6:4). Di dalam Injil Perjanjian Baru, kita juga menemukan penegasan akan keesaan Allah tersebut, baik oleh Tuhan Yesus (Yoh.10:30) maupun oleh rasul-rasul (1Tim.2:5). Dari pengajaran Alkitab tersebut, kita melihat bahwa di satu sisi Alkitab menegaskan keesaan Allah, tapi di sisi lain, kita menemukan adanya kejamakan di dalam keesaan tersebut. Dari kenyataan tersebut, bapak-bapak Gereja mencoba memahami dan menjelaskannya. Tentu saja, sebagaimana kita sebutkan di atas, ada pemahaman yang tidak sesuai dengan pengajaran Alkitab, seperti Sabellianisme dan Arianisme dan ada juga yang sesuai dengan ajaran Alkitab, sebagaimana diajarkan oleh Athanasius.

Apakah adanya sifat kejamakan di dalam Allah yang esa tersebut hanya ditemui di dalam Perjanjian Baru? Sebenarnya, jika kita meneliti Perjanjian Lama, kita juga menemukan adanya unsur kejamakan tersebut. Kejamakan tersebut dapat ditemukan ketika kita membaca kalimat pertama Perjanjian Lama. Dalam Kej.1:1 kita membaca: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. Di dalam bahasa aslinya (Ibrani) kalimat tersebut berbunyi: Be reshit bara Elohim et ha shamayim ve et ha aretz”. Kata “Elohim” menandakan jamak (bandingkan dengan Yes.6:2 di mana banyak mahluk surgawi (serafim) melayani Allah). Salah satu oknum dari Allah Tritunggal tersebut segera disebut secara eksplisit pada ayat 2: “Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air”. Selanjutnya, kita juga dapat menemukan kejamakan tersebut dalam kisah penciptaan manusia: “Baiklah KITA menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita” (Kej.1:26). Lalu bagaimana dengan Perjanjian Baru? Ketiga oknum Tritunggal dinyatakan dengan sangat jelas. Misalnya, dalam kisah pembaptisan Yesus (Mark.1:9-11), kisah pengutusan pada saat Yesus memberikan amanat agung: Mat.28:19, pada saat khotbah perpisahan (Yoh.16:4-7), juga dalam memberi berkat (2 Kor.13:13).

Sebagian orang menolak doktrin Allah Tritunggal karena menurut mereka hal itu tidak logis. Namun demikian, banyak ahli yang berpendapat justru pemahaman kepada doktrin tersebut sungguh-sungguh logis. Sebagai contoh, bapak Gereja, Augustinus, theolog yang sangat dikagumi dan berpengaruh di zamannya menegaskan bahwa hal itu sesuai dengan ajaran Alkitab bahwa “Allah itu adalah kasih”. Menurut Augustinus, bagaimanakah kita memahami Allah yang adalah kasih tanpa adanya sifat kejamakan di dalam diri Allah? Kasih memerlukan subjek dan objek. Sebelum Allah menciptakan segala sesuatu, termasuk malaikat-malaikat dan manusia, Allah mengasihi siapa/apa? Hal ini menjadi kesulitan bagi mereka yang menolak adanya oknum lain di luar diri Allah (YHWH). Tetapi bagi mereka yang menerima doktrin Allah Tritunggal, hal itu tidak masalah, karena Bapa mengasihi Anak, Anak mengasihi Roh, dstnya. Pengenalan kepada self-sufficient and self-dependent God membuat kita dapat memahami bahwa Allah cukup dengan diriNya sendiri dan tidak bergantung kepada siapapun.
Karena itu, Allah dapat mengungkapkan kasihNya tanpa adanya satu eksistansi (keberadaan) di luar diriNya. Demikian juga, pemahaman kepada Allah yang hidup dan yang bersabda “the living and speaking God” membuat kita memikirkan perlunya ada komunikasi yang di dalamnya ada subjek dan objek, karena bagaimanakah oknum yang satu dapat berkomunikasi? Atau Dia menjadi Allah yang bisu dan kesepian sebelum Dia menciptakan sesuatu? Tentu saja tidak. Pemahaman kepada Allah Tritunggal akan menolong mengatasi hal itu. Alkitab menegaskan bahwa sebelum Allah menciptakan manusia, Allah telah berkomunikasi dengan diriNya: “Marilah kita menciptakan manusia menurut gambar dan rupa KITA” (Kej.1:26).

Selain dari relasi tersebut di atas, kita akan mencatat hal-hal berikut:

1.Relasi saling menghormati dan memuliakan di dalam oknum Tritunggal: Yoh.16:14-15; 17:1,4.

2.Adanya koordinasi dan kesatuan ketiga oknum dalam Penciptaan (Kej.1:26); karya keselamatan (1Pet.1:2); Baptisan (Mat.28:19); pembaharuan dan berkat dalam diri orang percaya (Gal.4:6, 2 Kor.13:13).

3.Adanya peran khusus di dalam masing-masing oknum: Bapa (Kis.2:23; Ro.11:33-34; Ef.1:4,9,11; 3:11), Anak (Yoh.17:4; 1Kor.1:30; Ef.1:7; 1Tim.2:5); Roh (Ro.8:2,14,15,16,26; Tit.3:5).

4.Dalam karya penyelamatan, apa yang ditetapkan oleh Bapa, digenapkan oleh Anak di kayu salib dan diaplikasikan oleh Roh di dalam diri orang percaya. Dengan perkataan lain, yang disalibkan adalah oknum kedua, bukan oknum pertama atau ketiga, sedangkan yang mendiami orang percaya adalah oknum ketiga, bukan oknum pertama dan kedua.

5.Penerapan praktis. Dalam doa, biasanya kita berdoa dan memohon kepada Allah Bapa. Hal itu kita lakukan dalam pertolongan dan kekuatan Roh Kudus, dan doa itu hanya layak karena jasa Yesus Kristus. Itu sebabnya seringkali doa diakhiri dengan “dalam nama Yesus”, atau “... semua permohonan kami tersebut kami alaskan dalam nama AnakMu, Yesus Kristus.
Perhatian! Jika kita berdoa kepada Yesus, jangan diakhiri dengan “...dalam nama AnakMu, Yesus Kristus”, karena Yesus tidak punya Anak.

Kesimpulan:

Pemahaman kepada Allah Tritunggal adalah:

1.Percaya kepada Allah yang memiliki tiga oknum (Bapa, Anak dan Roh) dalam satu keberadaan (substansi).

2.Percaya kepada Allah Bapa, Anak dan Roh yang SETARA, SEHAKEKAT DAN MEMILIKI KEKEKALAN YANG SAMA.

3.Ketiga oknum tersebut DAPAT DIBEDAKAN TAPI TIDAK DAPAT DIPISAHKAN.

4.Dapat diimani, tapi tidak dapat dimengerti sepenuhnya. Doktrin Allah Tritunggal bukan di wilayah logika, bukan irrasional tapi supra rasional (beyond logic). Hal itu memang sesuai dengan hakekat Allah. Allah yang sejati pasti di luar jangkauan logika manusia.
Akhir kata, sekalipun doktrin Allah Tritunggal melampaui akal, jangan menyangkalnya, juga jangan memaksa diri untuk memahaminya. Seorang pernah menulis: Jika kamu mencoba mengerti dengan pikiranmu, kamu akan kehilangan akalmu. Tetapi jika kamu mencoba menyangkalnya, kamu akan kehilangan hatimu”. 

Penulis :  Pdt. Dr. Ir. Mangapul Sagala, MTh. 
Pdt. Mangapul Sagala, lahir di Bonandolok, Samosir. Setelah menyelesaikan studi dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, beliau bergabung dengan Yayasan Persekutuan Kristen Antar Universitas (PERKANTAS). Di dalam kasih setiaNya yang ajaib, Tuhan telah memberkati pernikahannya dengan Dra. Junicke Siahaan, dan telah dikaruniai lima orang anak: Billy (Thn '88), Abdiel ('91), si kembar Stefan & Filipus ('93) dan Ekharisti ('95). Staf senior Perkantas Jakarta ini menyelesaikan program M.Div, M.Th dan D.Th dari Trinity Theological College, Singapura.-

Senin, 11 Mei 2015

IMAN YANG HARUS BERTUMBUH

Iman kristen adalah sesuatu yang hidup dan  harus terus bertumbuh. Iman yang tidak bertumnbuh adalah iman yang cuma slogan saja karena perjumpaan seoarang anak manusia dengan TUHAN pasti akan menimbulkan kerinduan buat mereka terus dekat dengan penciptanya.

Sangat banyak contoh tentang transformasi manusia yang terjadi karena perjumpaan anak manusia dengan penciptanya. Perjumpaan yang pasti merubah perilaku orang itu dan bahkan lingkungannya dan bahkan penduduk satu kota (dan silahkan anda gogling di internet cerita tentang Transformasi yang dialami penduduk kota Cali, Kiambu, Hemet dan Almolonga).

Masalahnya saat ini banyak orang yang sebetulnya merasa tidak perlu TUHAN dan mengatakan beriman hanya sebagai simbol dan status saja. Di hati mereka tidak ada sama sekali rasa takut dan cinta sejati dengan TUHAN. Kalaupun mereka masih ke Gereja itu hanya karena status dan rasa malu mereka di tengah keluarga jika sampai tidak ke Gereja juga. Semua hanya demi pujian manusia dan nama baik, 

Jika kita baca sejarah kekristenan maka jemaat mula-mula disebut kristen di kisah rasul 11:26 adalah karena cara mereka hidup dan bukan karena pengakuan mereka. Kita saat ini yang mengaku sebagai orang kristen sudahkah menunjukan cara hidup yang berbeda dengan orang lain ? bagaiman cara pandang kita pada sesama, pada masalah-masalah kehidupan dll.... menjadi kristen sangat tidak mudah karena ini harus muncul dari pengakuan orang lain dan bukan pengakuan kita. Pengakuan orang lain ini juga merupakan pengakuan TUHAN untuk cara hidup kita karena memang dari buahnya satu pohon dikenali dan bukan  karena kita beri tulisan jambu di pohon mangga., karena selamanya pohon mangga itu tidak akan pernah berbuah jambu.

Iman kita yang gagal bertumbuh dan diam di satu titik yang sama untuk satu satuan waktu tertentu pasti akan membuat iman kita kerdil dan lalu mati, Seperti perumpamaan tentang PENABUR diman biji yang baik harus disemai di tempat yang baik supaya bisa tumbuh dan menghasilkan buahnya. 

Pertanyaan besarnya bukan bisa atau tidak tapi mau atau tidak kita bertumbuh, karena TUHAN sudah sediakan penyertaan melalaui ROH KUDUSNYA yang tinggal di hati kita. Apa lagi yang kita takutkan dan kawatirkan ketika ROH TUHAN ada di hati kita.

Foto Gereja Impian

Foto Gereja Impian