Rabu, 03 Juni 2015

BALOK dan SELUMBAR (Bagian II)

Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.
Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” (Mat. 7:3-5)
Kita Diharuskan untuk Mengasihi dan Bukannya untuk Mengecam
Jadi Kita dapat memahami sekarang mengapa Tuhan Yesus mengatakan hal ini. Alasan dalam menghakimi, alasan mengapa kita tidak boleh menghakimi karena hal itu mengobarkan sikap mengutuk yang tidak boleh ada dalam diri setiap murid dalam hubungan mereka dengan orang lain. Kita hadir di dunia ini untuk saling mengasihi dan bukannya untuk menempatkan diri di atas orang lain. Tetapi mungkin akan ada yang berkata, "Tetapi Kita sendiri mengatakan bahwa Tuhan Yesus tidak mengijinkan kita untuk membutakan mata terhadap dosa". Dan tidak ada satu orang pun yang tidak berdosa, jadi kita merasa memiliki banyak amunisi. Tidakkah itu berarti bahwa saya boleh menatap ke arah orang lain dan berkata, "Aha, orang ini berdosa, saya akan mengecamnya?” Untuk hal ini dibutuhkan dari setiap orang kemampuan dalam berkomunikasi dengan memahami pemikiran orang lain, yang mana orang lain itu sering kali berlaku dengan pikirannya sendiri, dan bukan dengan pemikiran kita, maka pemahaman seperti ini sangat dibutuhkan untuk menghindari sikap mengecam. Yesus berkata bahwa kita tidak boleh menutup mata terhadap dosa. Jadi bagaimana dengan dosa kita sendiri? Jika kita berdebat dengan cara ini, hal itu hanya menunjukkan sekali lagi bahwa kita masih belum memiliki sikap yang benar. Sikap adalah titik awal. kita dapat melihat hal itu di dalam cara orang bertutur-kata terhadap kita tentang hal-hal ini. Jika kita benar-benar mengasihi seseorang, kita tidak akan memiliki alasan untuk mengecam orang lain.
Jadi hal ini menjadi pokok yang sangat menarik bagi yang mempelajari teologi. penganut aliran liberal adalah kelompok yang paling kritis. Mereka akan selalu siap untuk mengecam setiap orang. Kritik mereka anggap sebagai kebenaran. Mereka berpendapat bahwa orang yang belajar teologi berarti memasuki pelatihan untuk mengkritik. Jika kita tidak mengkritik maka kita bukanlah teolog yang baik. Dan apa yang mereka lakukan? Mereka mengkritik Paulus, mereka mengkritik Yohanes. Mereka berkata bahwa Paulus plin-plan di bagian ini dan bagian itu. Ini semua, mereka anggap sebagai bagian dari kecendekiawanan mereka, dengan cara itulah kita harus berbicara. Kenyataannya, di dalam tangan kaum liberal, tidak ada satu orang pun yang tidak dapat dikritik. Setiap orang dikecam dengan berbagai cara, mulai dari para nabi sampai para rasul Perjanjian Baru. Semua orang dikritik. Teolog liberal merasa berhak mengkritik setiap orang. Orang-orang ini merasa bahwa mereka lebih tahu dari Paulus, Yohanes, Yesaya maupun Yeremia. Mereka lebih tahu dari setiap orang. Hal yang paling disayangkan dari orang-orang seperti Paulus dan Yohanes adalah bahwa mereka tidak pernah mendapat kesempatan untuk duduk bersimpuh di kaki para teolog besar abad ke duapuluh ini. Sekiranya saja mereka mendapat kesempatan itu, maka mereka akan menjadi lebih besar dari apa yang sudah ada, begitu menurut para teolog ini. Dan sekali kita melakukan hal yang seperti itu, kita tidak akan terkejut jika saya berkata bahwa kita akan mengkritik bahkan Yesus sendiri. Kita tidak dapat lagi melihat batasan, sekali kita mengambil sikap seperti itu, di mana kita akan berhenti?
Jadi saudara-saudara, berhati-hatilah dalam menelaah ucapan Yesus dan sikap yang benar tidak akan membuat kita merasa "Karena saya seorang teolog, seorang cendekiawan, maka tugas saya adalah mengkritik orang lain." Allah tidak pernah memberi kita tugas seperti itu, maka kita harus mempertimbangkan untuk berhenti melakukan tugas seperti itu. Di dalam Galatia 5:15, rasul Paulus mengingatkan jemaat di Galatia dengan kata-kata seperti itu. Ia berkata, "Tetapi jikalau kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan". Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang di Galatia sudah jatuh dalam kesalahan yaitu tidak mendengarkan pengajaran Yesus ini. Mereka merasa bahwa mereka dapat mengkritik setiap orang. Itu tidak apa-apa, sudah tugas kita. Dan Paulus berkata, "Tetapi jikalau kamu saling mengigit dan saling menelan", artinya saling memakan, maka kamu semua akan menelan habis satu sama lain. Pada akhirnya tidak akan ada yang tersisa. Paulus berkata, "Jika kamu saling menggigit seperti hewan aduan, maka kamu akan saling memakan." Kita pikir, jika kita masuk di tengah jemaat seperti ini, kesaksian macam apa yang dapat kita tampilkan kepada orang Kristen yang baru atau kepada orang yang bukan Kristen? Jika kita mengasihi Allah, dan jika kita mengasihi umatNya, kita mengasihi jemaatNya, akankah kita datang ke Persekutuan Jemaat dan berkata, "Saya tidak setuju dengan kamu, dan saya juga tidak senang dengan kamu.” Kesaksian macam apa ini? Jika kita tidak setuju dengan seseorang, datang dan berbicaralah kepada mereka secara baik-baik, selesaikan persoalan tersebut dengan mereka. Kita tidak perlu menyiarkan perkara ini kepada setiap orang bahwa kita sedang berselisih dengan seseorang. Apakah kita tidak mempedulikan ketenteraman orang Kristen yang baru dan orang non Kristen? Tidakkah Tuhan Yesus berkata, "Dengan inilah setiap orang akan mengetahui bahwa kamu adalah muridKu, bahwa kamu sekalian saling mengasihi." Dan kita sudah memahami bahwa di mana ada watak pengecam, maka tidak ada kasih.
Rahasia Kehidupan Kristen - Efek Timbal Balik dari Tindakan Kita
Sekarang kita sampai pada bagian kesimpulan. Di sini Tuhan Yesus memberi kita peringatan dan dorongan sekaligus, dimana peringatannya adalah: Ia berkata di awal Matius pasal 7, "Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu." Ukuran yang kita tetapkan akan menjadi ukuran yang kita hadapi. Dengan ini diberitahukan kepada kita bahwa hal ini adalah prinsip penting yang menjadi dasar yang harus diketahui oleh setiap orang Kristen. Inilah rahasia kehidupan orang Kristen yang perlu kita ketahui benar-benar. Apa rahasia itu? Bagaimana cara kita bertindak akan menjadi cara yang dipakai Allah dalam berurusan dengan Kita. Terapkanlah prinsip ini, dan kita akan melihat bahwa hal itu mencakup keseluruhan kehidupan Kristen kita. Ini adalah prinsip terpenting yang perlu dipahami oleh setiap orang Kristen. Jika kita tidak mengampuni seorang saudara seiman, maka kita pun tidak akan diampuni. Kita menghakimi saudara seiman, maka Allah akan menghakimi kita. Semakin berat kutukan kita, semakin berat pula Allah akan mengutuk kita. Sangat mengerikan. Ini adalah bagian peringatan dari ajaran Tuhan Yesus.
Kita dapati prinsip ini diterapkan di dalam Alkitab dari yang secara harafiah sampai kepada bagian yang lebih terperinci. Kita lihat contohnya. Daud melakukan dosa yang berat ketika ia merampas istri orang lain. Namun dia secara aneh dapat lolos dari jerat hukum. Alasannya adalah karena dia seorang raja. Ia mengambil perempuan ini dari suaminya dengan cara yang tampaknya tidak menyalahi hukum Taurat. Karena ia seorang raja dan pimpinan tertinggi angkatan perang. Dan suami perempuan ini adalah seorang prajurit dalam pasukannya. Dan yang lebih mengerikan adalah suami perempuan ini seorang yang sangat setia dan sangat diandalkan dalam pasukan. Jadi dalam rangka merebut istrinya, Daud menjalankan tindakan yang jahat. Ia mengirim laki-laki ini ke medan perang dengan titipan pesan kepada panglima di lapangan untuk menempatkannya di bagian yang paling berbahaya dalam perang. Lalu laki-laki ini terbunuh. Apakah Daud melakukan hal yang melanggar hukum? Tidak! Ia melakukannya sesuai kewenangan yang dimilikinya. Di dalam hukum manusia, ia tidak berbuat salah. Dan tentu saja, sesudah suaminya meninggal, Daud bebas untuk menikahi perempuan itu. Sekali lagi, tidak ada pelanggaran hukum. Tidak ada yang salah bagi seorang laki-laki yang menikahi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya.
Tetapi mata Allah tertuju pada hatinya. Sekalipun ia tidak bersalah di bawah hukum manusia, mata Allah melihat isi hati Daud dan apa alasan dari semua perbuatannya. Lalu terdapat seorang hamba Allah, Natan, orang yang tidak kita ketahui banyak tentang dirinya. Ia bukanlah nabi yang terkenal, datang dan berbicara kepada Daud. Dan Natan berkata, "Tuanku, saya ingin mengadukan satu perkara kepadamu." Dan ia mulai menjelaskan perkara itu kepada Daud, yang sebagai raja juga merupakan hakim. Daud memutuskan hukuman atas perkara ini. Begini ceritanya. Natan bercerita tentang seseorang yang memiliki seekor anak domba betina, dan itu satu-satunya domba miliknya. Anak domba betina ini sangat berharga bagi orang tersebut sehingga tidur pun di atas pangkuannya. Peliharaan yang paling disayanginya karena memang itulah satu-satunya yang ia miliki. Lalu ada seorang kaya yang memiliki banyak kambing domba tetapi ia menghendaki anak domba betina si miskin ini. Lalu ia merampas anak domba itu dari si miskin. Dan Daud menjadi sangat marah atas hal itu. Kita lihat di sini, ia dapat melihat selumbar di mata orang tetapi tidak dapat melihat balok yang ada di matanya sendiri. Ia sangat marah, "Sangat keterlaluan orang ini, ia sudah punya banyak domba tetapi masih mengambil domba si miskin." Lalu ia berkata, "Aku tetapkan bahwa ia harus mengganti rugi empat kali lipat." Dengan kata lain, satu anak domba yang sudah diambilnya itu, harus diganti dengan empat ekor.
Lalu Natan menatap ke arah Daud dan berkata, "Engkaulah orang itu". Apa yang terjadi? Daud sudah menyatakan penghakiman atas dirinya sendiri. Daud menetapkan penghakiman dan Natan berkata "Engkaulah orang itu". Domba yang diambil oleh Daud adalah istri perwira tersebut. Dan Allah menjatuhkan hukuman tepat seperti yang sudah ditetapkan oleh Daud. Daud kehilangan empat anaknya. Sungguh luar biasa Firman Allah, begitu tepat. Daud harus menebus sesuai dengan penghakiman yang sudah ia tetapkan, yang sudah ia ucapkan sendiri. Di dalam kenyataannya, peristiwa kematian pertama terjadi hanya beberapa ayat kemudian di dalam 2 Samuel 12:5-6, kita dapat membaca bagian itu. Lalu kita dapati di dalam ayat 14 terjadi kematian yang pertama. Belakangan kita melihat lagi peristiwa kematian anak Daud yang dibunuh oleh putranya yang lain. Tragedi menyedihkan yang memperlihatkan watak saling membunuh di antara sesama anak. Dan begitulah selanjutnya sampai Daud kehilangan empat puteranya. Kita lihat di sini bahwa apa yang keluar dari mulut kita, ukuran yang kita pakai untuk menghakimi, akan kita hadapi dalam penghakiman Allah.
Dan jika kita sudah memahami hal ini, maka kita tidak akan pernah takut dan menahan-nahan bantuan kita terhadap orang lain. Pernah terjadi seorang saudara seiman yang sedang membutuhkan uang mendapat bantuan dari saudara yang lain. Dan ketika ia menerima uang itu, ia mendapati ada saudara lain yang lebih memerlukan uang tersebut, dan ia menyerahkan uang pinjaman itu untuk memberi pertolongan. Tidak peduli pada keperluannya sendiri, ia memberikan uang itu kepada orang yang lebih membutuhkan. Lalu Allah menyediakan baginya uang lagi bagi keperluannya. Hasilnya kita lihat sendiri, tidak pernah ada kekurangan, karena semakin banyak kita memberi akan semakin banyak pula kita menerima. Ini adalah prinsip yang dapat kita uji dalam kehidupan sehari-hari, jika kita memiliki iman dan keberanian untuk mencobanya, karena iman dan keberanian berjalan bersama. Banyak orang menjadi penakut karena mereka tidak memiliki iman. Banyak orang yang ingin tahu, bagaimana saya bisa mengetahui bahwa Allah itu nyata? Allah sudah menyediakan satu prinsip di sini yang dapat kita pakai untuk membuktikannya. Sangat mudah bagi kita untuk mencobanya. Bukankah sangat indah bahwa di dalam Alkitab, Allah tidak menyuruh kita untuk memiliki iman yang buta? Ia menyatakan bahwa semakin banyak kita memberi, semakin banyak kita menerima, ukuran yang kita tetapkan menjadi ukuran yang kita hadapi. Kita dapat membuktikannya. Sangat mudah untuk dibuktikan, tetapi jangan membuktikannya melalui cara Daud. Ia menetapkan hukuman empat kali lipat dan ia mendapatkannya, jangan pernah mencoba bagian yang itu.
Mari kita masukkan pelajaran ini ke dalam hati kita, prinsip yang indah ini, peringatan dan dorongannya, kita jalankan itu, kita buktikan, kita lihat dan kita nikmati kebenaran bahwa Allah itu baik.

Ditulis Oleh : Bp. Yohanes Sihombing
---oooOooo---

BALOK dan SELUMBAR (Bagian I)

Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.
Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” (Mat. 7:3-5)
Perumpamaan di atas dipakai Tuhan Yesus untuk memberikan gambaran dan penjelasan kepada kita mengenai beberapa pengajaran yang sangat penting berkaitan dengan hubungan antara sesama di dalam Persekutuan Jemaat, terutama dalam hal sikap dan perilaku menghakimi. Apa itu hubungan yang sejati di antara orang Kristen atau haruskah setiap orang Kristen saling berhubungan di antara sesama mereka? Di sini Ia memberi kita peringatan dan dorongan.
Orang yang Menghakimi akan Menghadapi Penghakimannya Sendiri
Tuhan Yesus berkata, "Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu", selumbar adalah benda yang sangat kecil, "kamu sangat mampu melihat selumbar di mata saudaramu tetapi kamu tidak mampu," di sini Tuhan Yesus menggunakan gambaran yang sangat lucu, "melihat balok di matamu". Balok yang dibicarakan ini adalah balok yang biasa dipakai sebagai penyangga atap atau yang dijadikan tiang utama dari sebuah rumah. Biasanya berasal dari batang utama sebuah pohon yang sisi-sisinya dipotong persegi dan kemudian dipasang sebagai tiang utama. Tuhan Yesus gemar memakai kata atau frasa-kalimat yang ekspresif, sehingga kita dapat melihat perbedaan yang sangat mencolok, dan oleh karena itu akan membuat gambaran yang diberikan menjadi tergambar sangat jelas.
Menghakimi - Cerminan Sikap Merasa Unggul
Mari kita perhatikan lebih teliti lagi pengajaran yang disampaikan oleh Tuhan Yesus. Pertama, Tuhan Yesus berkata, "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi." (Mat. 7:1). Menghakimi merupakan suatu kewenangan, kewenangan dari penguasa. Seorang hakim akan bertindak sebagai orang yang memiliki kewenangan atas diri kita. Jika kita berbuat salah, pemerintah akan memanggil kita, atau menyeret kita ke pengadilan, atau jika ada dua orang yang berselisih, mereka membawa persoalan tersebut kepada pihak yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi. Hakim merupakan perwujudan dari pihak yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi. Jadi pada saat Tuhan Yesus berkata, "Jangan menghakimi", yang Ia maksudkan adalah, setiap orang dari antara kita tidak boleh menempatkan diri di atas orang lain. Ini adalah persoalan yang sangat mendasar di dalam hubungan sesama manusia, setiap orang ingin menganggap bahwa dirinya sendiri lebih baik dari orang lain dan dengan demikian merasa berhak untuk menghakimi orang lain. Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa sikap yang sedemikian di antara orang Kristen merupakan sumber masalah di dalam Persekutuan Jemaat. Di sini Tuhan Yesus sedang menangani suatu sikap. Sikap merasa lebih unggul dari orang lain.
Alkitab juga mengajarkan bahwa kita harus belajar untuk saling merendahkan diri antara satu dengan yang lainnya, tunduk terhadap satu dengan lain, bukannya berlaku seperti orang penting di hadapan yang lainnya. Itu sebabnya di dalam Yohanes 13, Tuhan Yesus membasuh kaki murid-muridNya dan mengatakan bahwa apa yang sudah Ia lakukan atas mereka harus mereka lakukan pula terhadap orang lain. Membasuh kaki orang lain berarti menjadi budak orang lain itu karena hal itu adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang budak bagi tuannya; membasuh kaki majikannya. Itu sebabnya mengapa di dalam Filipi 2:3 dan Efesus 5:21 sekaligus, Paulus berkata "Rendahkanlah dirimu seorang akan yang lain". Jangan malah berusaha untuk menjadi tuan atas orang lain, jadilah hamba bagi orang lain. Untuk tujuan itulah kita dipanggil olehNya. Saya meminta kita untuk memikirkan bahwa kalau di dalam Persekutuan Jemaat kita benar-benar dapat hidup seperti ini, benar-benar merendahkan diri di hadapan orang lain dengan setulus hati, seperti apa jadinya perubahan perilaku jemaat di dalam Persekutuan Jemaat? Seperti apa jadinya Persekutuan Jemaat jika kita tidak melirik ke arah orang lain dan menilai bahwa kita tidak lebih buruk dari pada dia? Mengapa kita tidak mengekang hasrat untuk membandingkan diri ini, bukankah hal itu sepenuhnya wewenang Allah? Perilaku yang ingin menang sendiri ditujukan untuk menaikkan harga diri, ego kita, agar kita merasa bahwa diri kita memiliki arti di dunia ini. Namun manusia rohani tidak peduli dengan urusan nilai harga dirinya. Ia hanya memperhatikan apa yang Allah nilai dari dirinya dan hal itu membawa dampak yang kekal.
Tuhan Menghargai Orang yang Rendah Hati
Ada satu pelajaran yang diberikan oleh Tuhan kepada saya sepanjang waktu yaitu, "Jika kita ingin menjadi yang terbesar, maka kita harus menjadi yang terkecil di antara yang lain," menjadi hamba bagi yang lain. Jika Kita ingin menjadi yang terbesar di mata Allah, maka Kita harus menjadi yang terkecil di antara saudara-saudara seiman. Semakin Kita merasa berharga di dalam penilaian pribadi, atau di mata orang lain, semakin tidak berarti diri kita di mata Allah.
Jika kita lihat dari dalam Matius 23, "Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik". Padahal ahli-ahli Taurat adalah mereka yang mendalami kitab suci. Namun lihatlah betapa lembutnya Ia kepada mereka yang sakit, lemah, remuk hati; orang-orang yang dipkitang sepele oleh masyarakat. Sikap Yesus inilah yang harus kita teladani. Yang kita lihat sekarang ini adalah perilaku banyak sekali orang Kristen yang seperti orang dunia. Dan jika mereka datang ke Persekutuan Jemaat, mereka menjadi orang-orang penting karena mereka adalah orang penting di luar Persekutuan Jemaat. Kita tidak meneladani bagaimana Allah menilai orang.
Kita harus belajar untuk menghormati terutama mereka yang paling rendah di antara kita. Orang-orang penting itu sudah mendapat penghormatan yang cukup dari dunia dan kita tidak perlu menambah besar kepala mereka. Jadi kita harus miliki sikap dasar yang satu ini, perubahan sikap seperti yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, yaitu kita tidak bergiat untuk meninggikan diri atau sebaliknya menjilat orang lain.
Tidak Menghakimi bukan Berarti Membutakan Mata terhadap Dosa
Di sini kita perlu mempertanyakan, demi pemahaman yang lebih tepat pada ajaran Tuhan Yesus, ketika Tuhan Yesus berkata "Jangan menghakimi", selain dari persoalan sikap, hal apa lagi yang Ia maksudkan? Pertama-tama perlu ditekankan sekali lagi bahwa hal utama yang Ia maksudkan adalah perkara sikap ketimbang tindakan. Jika kita memiliki sikap yang benar, maka kita tentu tidak mau melakukan hal yang salah. Namun sekalipun kita sudah melakukan tindakan yang benar, belum tentu sikap kita benar pula pada saat melakukan hal tersebut. Jadi ketika Tuhan Yesus berkata "Jangan menghakimi", apakah Ia sedang mengajarkan kita, sebagai contoh, untuk membutakan mata terhadap dosa yang terjadi di tengah jemaat? Ketika dosa terjadi di dalam Persekutuan Jemaat, saat ada perkara kesalahan yang serius terjadi di dalam jemaat, sebagai contoh, memberi penghormatan karena seseorang adalah orang penting di dunia, atau dosa yang lebih parah daripada itu, apakah kita harus membutakan mata kita dan berkata, "Saya tidak boleh menghakimi. Orang itu boleh berbuat dosa, semua orang boleh berbuat dosa, itu semua bukan urusan saya?” Atau mungkin ada seorang nabi palsu yang datang dan mengajarkan kesesatan kepada kita, haruskah kita berkata, "Saya tidak dapat menghakimi, biarkan saja dia mengajar sesuka hatinya"? Atau jika ada serigala berbulu domba yang masuk ke tengah jemaat dan memangsa domba-domba, kita hanya berkata, "Tidak dapat kita menghakimi dia. Kita menyebut dia serigala berbulu domba, berarti kita sudah menghakimi dia. Lebih baik saya tutup mulut."
Jadi kita melihat bahwa perkataan Tuhan Yesus "Jangan menghakimi" tidak dimaksudkan agar kita menutup mata terhadap dosa. Lebih dari itu, khususnya bagi para pengajar, ada tanggungjawab yang besar untuk bertindak melawan dosa, melawan dosa yang hendak menjerat jemaat secara keseluruhan. Di dalam Perjanjian Lama kita melihat para nabi, hamba-hamba Allah, berseru kepada segenap bangsa Israel, mengutuk dosa-dosa yang dilakukan oleh bangsa Israel. Tentu saja orang Israel tidak akan mencintai nabi-nabi tersebut karena teguran mereka yang keras itu. Yeremia dilemparkan ke dalam lubang dan diharapkan mati di sana, untunglah ada orang yang datang dan menolongnya. Bangsa Israel membenci para nabi karena mereka berteriak keras terhadap dosa-dosa.
Berbicara dengan Sikap yang Dilandasi oleh Kasih dan Kepedulian yang mendalam
Jadi ketika Tuhan Yesus berkata "Jangan menghakimi", Ia tidak menyuruh kita untuk membutakan mata terhadap dosa namun kita harus menyerang dosa dengan sikap yang benar. Lebih dari itu, rasul Paulus berkata kepada kita bahwa para pimpinan Persekutuan Jemaat memiliki tanggungjawab untuk menghakimi jemaat. Apakah lalu kita mendapati suatu pertentangan antara ucapan Paulus bahwa "ia menghakimi" dan di pihak lain Yesus berkata, "Jangan menghakimi"? Di dalam 1 Korintus 5:3, rasul Paulus berkata, "Telah menjatuhkan hukuman atas dia". Yaitu terhadap orang yang telah melakukan satu dosa besar di dalam jemaat; melakukan hubungan seksual dengan anggota keluarga sendiri. Paulus di sini mengumumkan penghakiman dan menjatuhkan hukuman atas orang yang melakukan dosa yang mengerikan ini. Bagaimana mungkin Paulus menjatuhkan hukuman padahal Tuhan Yesus berkata "jangan menghakimi"? Itulah sebabnya mengapa kita perlu memahami hal penting yang pertama dari pernyataan itu. "Tidak menghakimi" menurut Tuhan Yesus berkaitan erat dengan masalah sikap.
Hal yang kedua perlu kita pahami sejalan dengan penelaahan kita terhadap ajaran Tuhan adalah melihat konteksnya secara keseluruhan. Yesus berkata kepada murid-muridNya untuk tidak menghakimi, namun di dalam lingkungan Persekutuan Jemaat ada beberapa orang yang diberi tanggungjawab besar untuk menghakimi. Jadi, tidak menghakimi merupakan satu pedoman umum, namun ada beberapa orang di dalam Persekutuan Jemaat, seperti tua-tua dan para pemimpin yang lain yang memegang tanggungjawab untuk menghakimi sebagaimana contoh yang terdapat di dalam 1 Timotius 5:17.
Dalam hal menghakimi. Kata "hakim" di sini dipahami dalam pengertian mengutuk, yaitu menjatuhkan hukuman ke atas seseorang atau menetapkan hukuman yang akan dijatuhkan atas seseorang. Jadi kita dapati di sini bahwa menghakimi, mengutuk, secara jelas bertentangan dengan keselamatan, dikaitkan dengan isi Matius pasal 7. Di dalam Yohanes 12:47, kita dapati bahwa Tuhan Yesus datang bukan untuk menghakimi tetapi untuk menyelamatkan. Di sini kita dapati ada perbedaan antara menghakimi dengan menyelamatkan, antara mengutuk dan menyelamatkan, antara mengucilkan seseorang dengan memaafkan dosanya. Kita lihat bahwa pada saat kita menghakimi, mengutuk seseorang, maka kita tidak sedang mempedulikan keselamatannya. Jadi semua itu menunjukkan kepada kita bahwa sikap kita terhadap saudara seiman tidak boleh dilandasi oleh pikiran bahwa kita lebih baik daripada mereka. Jika seorang pendeta merasa lebih baik daripada orang lain di dalam Persekutuan Jemaat, ia tidak layak menjadi pendeta. Di dalam pengertian mengutuk, tidak ada seorangpun yang diberi kewenangan untuk itu di dalam lingkungan jemaat. Namun di dalam pengertian menyatakan penghakiman berdasarkan Firman Allah, kewenangannya diberikan kepada para hamba Allah. Akan tetapi sekalipun demikian, pelaksanaanya tidak pernah dilakukan didalam semangat untuk mengutuk, melainkan untuk menyelamatkan. Jadi di dalam 1 Korintus 5, sebagai contoh, ketika Paulus menghukum orang tersebut dengan kebinasaan tubuh, tujuan akhirnya tetap agar supaya rohnya dapat diselamatkan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Paulus dalam ayat yang sama. Tak seorangpun, tidak satu manusiapun diberi kewenangan untuk mengutuk atau menjatuhkan hukuman secara final, yang berarti memisahkan orang tersebut dari keselamatan.
Kasih kepada Diri Sendiri Membutakan Kita dari Kenyataan Hidup Kita
Tuhan Yesus mengajukan pertanyaan ini: mengapa kamu melihat selumbar di mata saudaramu tetapi balok di matamu sendiri tidak kau lihat? Ini adalah pertanyaan yang menarik, mengapa? Apa jawaban Kita terhadap pertanyaan ini? Mengapa kita begitu terampil dalam melihat kesalahan orang lain namun buta terhadap kesalahan sendiri? Lalu apa jawaban kita terhadap pertanyaan Yesus ini? Jika kita mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan ini, kita akan mendapati bahwa Kita sedang disoroti oleh mata rohani yang sedang menyelidiki isi hati kita.
Jawabannya jelas, dan jawaban itu adalah karena kita sebenarnya tidak pernah mengasihi orang tersebut sama sekali. Dan mengapa kita tidak dapat melihat balok di mata kita sendiri? Itu karena kita mengasihi diri kita sendiri. Mengapa dikatakan "cinta itu buta". Buta, mereka tidak dapat melihat kesalahannya. Kasih seperti ini, jika kita mengasihi diri kita sendiri sedemikian rupa, maka kita tidak akan dapat melihat kesalahan kita sekalipun sebuah balok melekat di mata kita, kita tidak akan memperhatikannya. Karena kita tidak mengasihi orang lain, maka semua kesalahan mereka akan langsung tampak.

Ditulis Oleh : Bp. Yohanes Sihombing
…(bersambung)…