Kamis, 14 Mei 2015

Allah Tritunggal

Pengantar

Penting untuk diketahui bahwa doktrin atau ajaran tentang Allah Tritunggal hanya ada di dalam Kekristenan. Jadi, boleh dikatakan bahwa ini adalah salah satu keunikan agama Kristen. Ajaran seperti ini tidak ada di dalam agama lain. Bukan saja tidak ada, ajaran seperti ini ditentang oleh agama tertentu di mana pemahaman seperti ini dianggap bertentangan dengan natur atau keberadaan Allah itu sendiri.

Allah Tritunggal atau Trinity God adalah pemahaman akan Allah yang memiliki tiga oknum yang berbeda (hypostasis) tapi di dalam satu keberadaan (essensi atau substansi), yaitu Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Pemahaman ini berbeda dengan Unitarianisme yang menekankan keesaan Allah dan menyangkali oknum Anak (Yesus Kristus) dan Roh Kudus sebagai Allah yang setara dengan YHWH.

I. Pandangan Bapak-bapak Gereja

Sekalipun pemikiran tentang Allah Tritunggal telah dimulai pertama kali pada abad kedua oleh Athenagoras, namun doktrin ini secara jelas diajarkan pada abad ketiga oleh Tertullian (fl.c.196-c.212). Tertullian menegaskan bahwa hanya ada satu Allah dengan tiga oknum yang berbeda. Namun pemahaman Tertullian yang dikenal dengan “economic Trinitaniarism” kelihatannya bermasalah, di mana Tertullian memahami bahwa Allah Bapa menggunakan kedua ‘tanganNya’, yaitu Anak dan Roh Kudus sebagai perantara untuk menciptakan dunia. Sejarah kehidupan manusia dibagi menjadi tiga periode di mana ketiga oknum dari Allah Tritunggal bekerja secara berurutan pada masing-masing periode tersebut. Perjanjian Lama merupakan periode Bapa, Perjanjian Baru hingga hari Pentakosta merupakan periode Anak, dan akhirnya, mulai dari hari Pentakosta dan seterusnya merupakan periode Roh Kudus.

Tentu saja pandangan tersebut di atas kurang memuaskan, karena membatasi Allah pada periode tertentu saja. Pandangan ini juga membuka peluang bagi pemahaman Modalistik atau Monarchianisme. Pandangan Monarchianisme ini juga disebut sebagai Sabellianisme sesuai nama pencetusnya, yaitu Sabellius yang hidup pada abad ketiga. Menurut pandangan ini, sebenarnya hanya ada satu oknum Allah, bukan tiga oknum. Allah yang Esa tersebut menyatakan diri dengan tiga cara, atau tiga manifestasi. Sebagai pencipta alam semesta, Allah muncul sebagai Bapa; kemudian, sebagai Penebus manusia, Allah muncul sebagai Anak dan akhirnya Roh Kudus muncul sebagai pribadi yang menguduskan. Untuk menjelaskan hal ini, seringkali orang mengambil ilustrasi es, air dan uap. Pada temperatur di bawah 0 derajat kita menemukan zat es, sedangkan di atas temperatur 0 derajat es tersebut akan berubah menjadi air, dan pada temperatur di atas 100 derajat air itu akan berubah menjadi uap. Ada juga yang menggambarkannya dengan seorang yang berperan sebagai ayah di rumah, tapi di kantor sebagai pimpinan dan pada kesempatan lain sebagai orang yang bermain golf. Artinya, orang yang sama dan yang satu itu berperan sebagai ayah, pimpinan dan pemain golf. Pengajaran inipun tidak memuaskan karena tidak sesuai dengan pengajaran Alkitab.

Jika Sabellianisme berusaha menghindari tuduhan bahwa dia menganut paham politheisme (percaya kepada banyak Allah) dengan mempertahankan sifat keesaan Allah dan menolak adanya ketiga oknum yang berbeda dalam Allah Tritunggal, tidak demikian dengan Arianisme oleh Arius (c. 250-336). Arius mengakui adanya ketiga oknum dalam diri Allah, yaitu Bapa, Anak dan Roh. Namun menurut Arius, Anak subordinate dengan Bapa, demikian juga dengan Roh Kudus. Karena itu, Anak tidak memiliki kekekalan yang sama (co-eternal) dengan Bapa. Anak juga tidak dapat disejajarkan dengan Bapa, melainkan lebih rendah dari Bapa, sedangkan Roh Kudus lebih rendah dari Anak.

Pemahaman Sabellianisme tersebut ditentang oleh Athanasius (c. 297-373), di mana dia menegaskan bahwa Bapa memiliki substansi yang sama dengan Anak dan Roh Kudus (Yunani, Bapa homoousia dengan Anak dan Roh Kudus. Homo artinya sama, sedangkan ousia artinya zat, atau substansi. Perlu diketahui dua kata yang hampir mirip tetapi mengandung arti yang berbeda, yaitu “homo” dengan “homoi”. Yang pertama berarti sama, sedangkan yang kedua berarti mirip atau seperti.). Karena Bapa memiliki substansi yang sama dengan Anak dan Roh Kudus, maka Bapa juga memiliki kekekalan yang sama dan setara dengan Anak dan Roh Kudus. Sidang oikumene pertama (sidang yang mempersatukan Gereja Barat dan Timur) yaitu konsili Nicea pada tahun 325 meneguhkan bahwa Yesus adalah Allah dan sehakekat dengan Bapa. Penegasan bahwa Anak sehakekat dengan Bapa terlihat dengan penggunaan kata bahwa Anak homo ousia dengan Bapa Selanjutnya konsili Konstantinopel pada tahun 381 meneguhkan bahwa Roh Kudus adalah Allah yang setara, sehakekat dan memiliki kekekalan yang sama dengan Bapa dan Anak.

Setelah mendiskusikan hal di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kepercayaan kepada Allah Tritunggal merupakan satu pengakuan kepada Allah yang Esa (dalam esensi atau substansi) namun memiliki tiga oknum yang berbeda. Pengakuan ini meneguhkan bahwa Bapa, Anak dan Roh adalah Allah yang sehakekat, setara dan memiliki kekekalan yang sama (co-existence, co-equal dan co- eternal).
Beberapa hal yang perlu dihindari, yaitu:

1.Menyangkali keesaan Allah (Arianisme)
2.Menyangkali adanya ketiga oknum yang berbeda (Sabellianisme)
3.Menyangkali kesetaraan Allah Bapa, Anak dan Roh
Hal pertama yang perlu kita tegaskan adalah bahwa kita tidak menemukan istilah Allah Tritunggal di dalam Alkitab. Karena itu, ada sebagian orang yang menolak pandangan Allah Tritunggal karena menurut mereka istilah itu tidak pernah ditemukan di dalam Alkitab, baik di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Selanjutnya, mereka itu menyatakan bahwa ajaran Allah Tritunggal hanya merupakan ciptaan dari bapak-bapak Gereja mula-mula. Benarkah demikian? Jawabnya adalah, memang istilah Allah Tritunggal tidak ditemukan, baik di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Jika kita melihat perkembangan doktrin Tritunggal tersebut, memang hal itu tidak terlihat secara jelas dinyatakan di dalam Perjanjian Lama. Umat Allah di dalam Perjanjian Lama malah terus menerus diperingatkan bahwa “Allah itu esa” (Ulangan 6:4). Hukum Taurat pertama dari sepuluh Hukum Taurat menegaskan: “Jangan ada padamu allah lain di hadapanKu” (Kel.20:3). Itulah sebabnya umat Allah di dalam Perjanjian Lama hanya beribadah kepada YHWH.

Namun demikian, kehadiran Yesus Kristus dan Roh Kudus di Perjanjian Baru membuat pemahamaman akan keesaan Allah tersebut perlu dipikirkan ulang. Siapakah Yesus Kristus? Siapakah Roh Kudus? Apakah Yesus manusia biasa, atau sekedar seorang nabi seperti nabi lainnya di dalam Perjanjian Lama? Penulis-penulis Perjanjian Baru memberi pengajaran bahwa Yesus dan Roh Kudus adalah pribadi Allah juga. Sekalipun terjadi pro-kontra di dalam gereja mula-mula tentang pribadi Yesus, namun akhirnya, pada tahun 325 hal itu dapat diselesaikan melalui sidang oikumene (konsili) pertama di Necea bahwa Yesus adalah Allah. Pengakuan bahwa Yesua adalah Allah diteguhkan dalam konsili-konsili selanjutnya, seperti Konsili Efesus (431), Chalcedon (451). Demikian juga keAllahan Roh Kudus diteguhkan melalui Konsili kedua di Konstantinopel pada tahun 381. Jika demikian halnya, apakah Alkitab mengajarkan adanya tiga Allah? Tentu saja tidak, sebab sebagaimana kita lihat pada Hukum Taurat pertama, Allah menegaskan untuk tidak menyembah Allah lain di luar Dia. Pengakuan kepada Allah yang esa merupakan pengakuan mutlak yang tidak dapat ditawar- tawar (Ulangan 6:4). Di dalam Injil Perjanjian Baru, kita juga menemukan penegasan akan keesaan Allah tersebut, baik oleh Tuhan Yesus (Yoh.10:30) maupun oleh rasul-rasul (1Tim.2:5). Dari pengajaran Alkitab tersebut, kita melihat bahwa di satu sisi Alkitab menegaskan keesaan Allah, tapi di sisi lain, kita menemukan adanya kejamakan di dalam keesaan tersebut. Dari kenyataan tersebut, bapak-bapak Gereja mencoba memahami dan menjelaskannya. Tentu saja, sebagaimana kita sebutkan di atas, ada pemahaman yang tidak sesuai dengan pengajaran Alkitab, seperti Sabellianisme dan Arianisme dan ada juga yang sesuai dengan ajaran Alkitab, sebagaimana diajarkan oleh Athanasius.

Apakah adanya sifat kejamakan di dalam Allah yang esa tersebut hanya ditemui di dalam Perjanjian Baru? Sebenarnya, jika kita meneliti Perjanjian Lama, kita juga menemukan adanya unsur kejamakan tersebut. Kejamakan tersebut dapat ditemukan ketika kita membaca kalimat pertama Perjanjian Lama. Dalam Kej.1:1 kita membaca: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. Di dalam bahasa aslinya (Ibrani) kalimat tersebut berbunyi: Be reshit bara Elohim et ha shamayim ve et ha aretz”. Kata “Elohim” menandakan jamak (bandingkan dengan Yes.6:2 di mana banyak mahluk surgawi (serafim) melayani Allah). Salah satu oknum dari Allah Tritunggal tersebut segera disebut secara eksplisit pada ayat 2: “Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air”. Selanjutnya, kita juga dapat menemukan kejamakan tersebut dalam kisah penciptaan manusia: “Baiklah KITA menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita” (Kej.1:26). Lalu bagaimana dengan Perjanjian Baru? Ketiga oknum Tritunggal dinyatakan dengan sangat jelas. Misalnya, dalam kisah pembaptisan Yesus (Mark.1:9-11), kisah pengutusan pada saat Yesus memberikan amanat agung: Mat.28:19, pada saat khotbah perpisahan (Yoh.16:4-7), juga dalam memberi berkat (2 Kor.13:13).

Sebagian orang menolak doktrin Allah Tritunggal karena menurut mereka hal itu tidak logis. Namun demikian, banyak ahli yang berpendapat justru pemahaman kepada doktrin tersebut sungguh-sungguh logis. Sebagai contoh, bapak Gereja, Augustinus, theolog yang sangat dikagumi dan berpengaruh di zamannya menegaskan bahwa hal itu sesuai dengan ajaran Alkitab bahwa “Allah itu adalah kasih”. Menurut Augustinus, bagaimanakah kita memahami Allah yang adalah kasih tanpa adanya sifat kejamakan di dalam diri Allah? Kasih memerlukan subjek dan objek. Sebelum Allah menciptakan segala sesuatu, termasuk malaikat-malaikat dan manusia, Allah mengasihi siapa/apa? Hal ini menjadi kesulitan bagi mereka yang menolak adanya oknum lain di luar diri Allah (YHWH). Tetapi bagi mereka yang menerima doktrin Allah Tritunggal, hal itu tidak masalah, karena Bapa mengasihi Anak, Anak mengasihi Roh, dstnya. Pengenalan kepada self-sufficient and self-dependent God membuat kita dapat memahami bahwa Allah cukup dengan diriNya sendiri dan tidak bergantung kepada siapapun.
Karena itu, Allah dapat mengungkapkan kasihNya tanpa adanya satu eksistansi (keberadaan) di luar diriNya. Demikian juga, pemahaman kepada Allah yang hidup dan yang bersabda “the living and speaking God” membuat kita memikirkan perlunya ada komunikasi yang di dalamnya ada subjek dan objek, karena bagaimanakah oknum yang satu dapat berkomunikasi? Atau Dia menjadi Allah yang bisu dan kesepian sebelum Dia menciptakan sesuatu? Tentu saja tidak. Pemahaman kepada Allah Tritunggal akan menolong mengatasi hal itu. Alkitab menegaskan bahwa sebelum Allah menciptakan manusia, Allah telah berkomunikasi dengan diriNya: “Marilah kita menciptakan manusia menurut gambar dan rupa KITA” (Kej.1:26).

Selain dari relasi tersebut di atas, kita akan mencatat hal-hal berikut:

1.Relasi saling menghormati dan memuliakan di dalam oknum Tritunggal: Yoh.16:14-15; 17:1,4.

2.Adanya koordinasi dan kesatuan ketiga oknum dalam Penciptaan (Kej.1:26); karya keselamatan (1Pet.1:2); Baptisan (Mat.28:19); pembaharuan dan berkat dalam diri orang percaya (Gal.4:6, 2 Kor.13:13).

3.Adanya peran khusus di dalam masing-masing oknum: Bapa (Kis.2:23; Ro.11:33-34; Ef.1:4,9,11; 3:11), Anak (Yoh.17:4; 1Kor.1:30; Ef.1:7; 1Tim.2:5); Roh (Ro.8:2,14,15,16,26; Tit.3:5).

4.Dalam karya penyelamatan, apa yang ditetapkan oleh Bapa, digenapkan oleh Anak di kayu salib dan diaplikasikan oleh Roh di dalam diri orang percaya. Dengan perkataan lain, yang disalibkan adalah oknum kedua, bukan oknum pertama atau ketiga, sedangkan yang mendiami orang percaya adalah oknum ketiga, bukan oknum pertama dan kedua.

5.Penerapan praktis. Dalam doa, biasanya kita berdoa dan memohon kepada Allah Bapa. Hal itu kita lakukan dalam pertolongan dan kekuatan Roh Kudus, dan doa itu hanya layak karena jasa Yesus Kristus. Itu sebabnya seringkali doa diakhiri dengan “dalam nama Yesus”, atau “... semua permohonan kami tersebut kami alaskan dalam nama AnakMu, Yesus Kristus.
Perhatian! Jika kita berdoa kepada Yesus, jangan diakhiri dengan “...dalam nama AnakMu, Yesus Kristus”, karena Yesus tidak punya Anak.

Kesimpulan:

Pemahaman kepada Allah Tritunggal adalah:

1.Percaya kepada Allah yang memiliki tiga oknum (Bapa, Anak dan Roh) dalam satu keberadaan (substansi).

2.Percaya kepada Allah Bapa, Anak dan Roh yang SETARA, SEHAKEKAT DAN MEMILIKI KEKEKALAN YANG SAMA.

3.Ketiga oknum tersebut DAPAT DIBEDAKAN TAPI TIDAK DAPAT DIPISAHKAN.

4.Dapat diimani, tapi tidak dapat dimengerti sepenuhnya. Doktrin Allah Tritunggal bukan di wilayah logika, bukan irrasional tapi supra rasional (beyond logic). Hal itu memang sesuai dengan hakekat Allah. Allah yang sejati pasti di luar jangkauan logika manusia.
Akhir kata, sekalipun doktrin Allah Tritunggal melampaui akal, jangan menyangkalnya, juga jangan memaksa diri untuk memahaminya. Seorang pernah menulis: Jika kamu mencoba mengerti dengan pikiranmu, kamu akan kehilangan akalmu. Tetapi jika kamu mencoba menyangkalnya, kamu akan kehilangan hatimu”. 

Penulis :  Pdt. Dr. Ir. Mangapul Sagala, MTh. 
Pdt. Mangapul Sagala, lahir di Bonandolok, Samosir. Setelah menyelesaikan studi dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, beliau bergabung dengan Yayasan Persekutuan Kristen Antar Universitas (PERKANTAS). Di dalam kasih setiaNya yang ajaib, Tuhan telah memberkati pernikahannya dengan Dra. Junicke Siahaan, dan telah dikaruniai lima orang anak: Billy (Thn '88), Abdiel ('91), si kembar Stefan & Filipus ('93) dan Ekharisti ('95). Staf senior Perkantas Jakarta ini menyelesaikan program M.Div, M.Th dan D.Th dari Trinity Theological College, Singapura.-

Senin, 11 Mei 2015

IMAN YANG HARUS BERTUMBUH

Iman kristen adalah sesuatu yang hidup dan  harus terus bertumbuh. Iman yang tidak bertumnbuh adalah iman yang cuma slogan saja karena perjumpaan seoarang anak manusia dengan TUHAN pasti akan menimbulkan kerinduan buat mereka terus dekat dengan penciptanya.

Sangat banyak contoh tentang transformasi manusia yang terjadi karena perjumpaan anak manusia dengan penciptanya. Perjumpaan yang pasti merubah perilaku orang itu dan bahkan lingkungannya dan bahkan penduduk satu kota (dan silahkan anda gogling di internet cerita tentang Transformasi yang dialami penduduk kota Cali, Kiambu, Hemet dan Almolonga).

Masalahnya saat ini banyak orang yang sebetulnya merasa tidak perlu TUHAN dan mengatakan beriman hanya sebagai simbol dan status saja. Di hati mereka tidak ada sama sekali rasa takut dan cinta sejati dengan TUHAN. Kalaupun mereka masih ke Gereja itu hanya karena status dan rasa malu mereka di tengah keluarga jika sampai tidak ke Gereja juga. Semua hanya demi pujian manusia dan nama baik, 

Jika kita baca sejarah kekristenan maka jemaat mula-mula disebut kristen di kisah rasul 11:26 adalah karena cara mereka hidup dan bukan karena pengakuan mereka. Kita saat ini yang mengaku sebagai orang kristen sudahkah menunjukan cara hidup yang berbeda dengan orang lain ? bagaiman cara pandang kita pada sesama, pada masalah-masalah kehidupan dll.... menjadi kristen sangat tidak mudah karena ini harus muncul dari pengakuan orang lain dan bukan pengakuan kita. Pengakuan orang lain ini juga merupakan pengakuan TUHAN untuk cara hidup kita karena memang dari buahnya satu pohon dikenali dan bukan  karena kita beri tulisan jambu di pohon mangga., karena selamanya pohon mangga itu tidak akan pernah berbuah jambu.

Iman kita yang gagal bertumbuh dan diam di satu titik yang sama untuk satu satuan waktu tertentu pasti akan membuat iman kita kerdil dan lalu mati, Seperti perumpamaan tentang PENABUR diman biji yang baik harus disemai di tempat yang baik supaya bisa tumbuh dan menghasilkan buahnya. 

Pertanyaan besarnya bukan bisa atau tidak tapi mau atau tidak kita bertumbuh, karena TUHAN sudah sediakan penyertaan melalaui ROH KUDUSNYA yang tinggal di hati kita. Apa lagi yang kita takutkan dan kawatirkan ketika ROH TUHAN ada di hati kita.