“Mengapakah engkau melihat selumbar di mata
saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada
saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok
di dalam matamu.
Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok
dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar
itu dari mata saudaramu.” (Mat.
7:3-5)
Perumpamaan di
atas dipakai Tuhan Yesus untuk memberikan gambaran dan penjelasan kepada kita mengenai
beberapa pengajaran yang sangat penting berkaitan dengan hubungan antara sesama
di dalam Persekutuan Jemaat, terutama dalam hal sikap dan perilaku menghakimi.
Apa itu hubungan yang sejati di antara orang Kristen atau haruskah setiap orang
Kristen saling berhubungan di antara sesama mereka? Di sini Ia memberi kita
peringatan dan dorongan.
Orang yang
Menghakimi akan Menghadapi Penghakimannya Sendiri
Tuhan Yesus
berkata, "Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu", selumbar
adalah benda yang sangat kecil, "kamu sangat mampu melihat selumbar di
mata saudaramu tetapi kamu tidak mampu," di sini Tuhan Yesus menggunakan
gambaran yang sangat lucu, "melihat balok di matamu". Balok yang
dibicarakan ini adalah balok yang biasa dipakai sebagai penyangga atap atau
yang dijadikan tiang utama dari sebuah rumah. Biasanya berasal dari batang
utama sebuah pohon yang sisi-sisinya dipotong persegi dan kemudian dipasang
sebagai tiang utama. Tuhan Yesus gemar memakai kata atau frasa-kalimat yang ekspresif,
sehingga kita dapat melihat perbedaan yang sangat mencolok, dan oleh karena itu
akan membuat gambaran yang diberikan menjadi tergambar sangat jelas.
Menghakimi -
Cerminan Sikap Merasa Unggul
Mari kita
perhatikan lebih teliti lagi pengajaran yang disampaikan oleh Tuhan Yesus.
Pertama, Tuhan Yesus berkata, "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak
dihakimi." (Mat. 7:1). Menghakimi merupakan suatu kewenangan, kewenangan
dari penguasa. Seorang hakim akan bertindak sebagai orang yang memiliki kewenangan
atas diri kita. Jika kita berbuat salah, pemerintah akan memanggil kita, atau
menyeret kita ke pengadilan, atau jika ada dua orang yang berselisih, mereka
membawa persoalan tersebut kepada pihak yang memiliki kewenangan yang lebih
tinggi. Hakim merupakan perwujudan dari pihak yang memiliki kewenangan yang
lebih tinggi. Jadi pada saat Tuhan Yesus berkata, "Jangan
menghakimi", yang Ia maksudkan adalah, setiap orang dari antara kita tidak
boleh menempatkan diri di atas orang lain. Ini adalah persoalan yang sangat
mendasar di dalam hubungan sesama manusia, setiap orang ingin menganggap bahwa
dirinya sendiri lebih baik dari orang lain dan dengan demikian merasa berhak
untuk menghakimi orang lain. Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa sikap yang
sedemikian di antara orang Kristen merupakan sumber masalah di dalam Persekutuan
Jemaat. Di sini Tuhan Yesus sedang menangani suatu sikap. Sikap merasa lebih
unggul dari orang lain.
Alkitab juga mengajarkan
bahwa kita harus belajar untuk saling merendahkan diri antara satu dengan yang
lainnya, tunduk terhadap satu dengan lain, bukannya berlaku seperti orang
penting di hadapan yang lainnya. Itu sebabnya di dalam Yohanes 13, Tuhan Yesus
membasuh kaki murid-muridNya dan mengatakan bahwa apa yang sudah Ia lakukan atas
mereka harus mereka lakukan pula terhadap orang lain. Membasuh kaki orang lain
berarti menjadi budak orang lain itu karena hal itu adalah pekerjaan yang
dilakukan oleh seorang budak bagi tuannya; membasuh kaki majikannya. Itu
sebabnya mengapa di dalam Filipi 2:3 dan Efesus 5:21 sekaligus, Paulus berkata
"Rendahkanlah dirimu seorang akan yang lain". Jangan malah berusaha
untuk menjadi tuan atas orang lain, jadilah hamba bagi orang lain. Untuk tujuan
itulah kita dipanggil olehNya. Saya meminta kita untuk memikirkan bahwa kalau
di dalam Persekutuan Jemaat kita benar-benar dapat hidup seperti ini,
benar-benar merendahkan diri di hadapan orang lain dengan setulus hati, seperti
apa jadinya perubahan perilaku jemaat di dalam Persekutuan Jemaat? Seperti apa
jadinya Persekutuan
Jemaat jika kita tidak melirik ke arah orang lain dan menilai
bahwa kita tidak lebih buruk dari pada dia? Mengapa kita tidak mengekang hasrat
untuk membandingkan diri ini, bukankah hal itu sepenuhnya wewenang Allah?
Perilaku yang ingin menang sendiri ditujukan untuk menaikkan harga diri, ego kita,
agar kita merasa bahwa diri kita memiliki arti di dunia ini. Namun manusia
rohani tidak peduli dengan urusan nilai harga dirinya. Ia hanya memperhatikan
apa yang Allah nilai dari dirinya dan hal itu membawa dampak yang kekal.
Tuhan Menghargai
Orang yang Rendah Hati
Ada satu
pelajaran yang diberikan oleh Tuhan kepada saya sepanjang waktu yaitu,
"Jika kita ingin menjadi yang terbesar, maka kita harus menjadi yang
terkecil di antara yang lain," menjadi hamba bagi yang lain. Jika Kita
ingin menjadi yang terbesar di mata Allah, maka Kita harus menjadi yang
terkecil di antara saudara-saudara seiman. Semakin Kita merasa berharga di
dalam penilaian pribadi, atau di mata orang lain, semakin tidak berarti diri kita
di mata Allah.
Jika kita lihat
dari dalam Matius 23, "Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik". Padahal ahli-ahli
Taurat adalah mereka yang mendalami kitab suci. Namun lihatlah betapa lembutnya
Ia kepada mereka yang sakit, lemah, remuk hati; orang-orang yang dipkitang
sepele oleh masyarakat. Sikap Yesus inilah yang
harus kita teladani. Yang kita lihat sekarang ini adalah perilaku banyak sekali
orang Kristen yang seperti orang dunia. Dan jika mereka datang ke Persekutuan
Jemaat, mereka menjadi orang-orang penting karena mereka adalah orang penting
di luar Persekutuan Jemaat. Kita tidak meneladani bagaimana Allah menilai
orang.
Kita harus
belajar untuk menghormati terutama mereka yang paling rendah di antara kita.
Orang-orang penting itu sudah mendapat penghormatan yang cukup dari dunia dan kita
tidak perlu menambah besar kepala mereka. Jadi kita harus miliki sikap dasar
yang satu ini, perubahan sikap seperti yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, yaitu kita
tidak bergiat untuk meninggikan diri atau sebaliknya menjilat orang lain.
Tidak Menghakimi
bukan Berarti Membutakan Mata terhadap Dosa
Di sini kita
perlu mempertanyakan, demi pemahaman yang lebih tepat pada ajaran Tuhan Yesus,
ketika Tuhan Yesus berkata "Jangan menghakimi", selain dari persoalan
sikap, hal apa lagi yang Ia maksudkan? Pertama-tama perlu ditekankan sekali
lagi bahwa hal utama yang Ia maksudkan adalah perkara sikap ketimbang tindakan.
Jika kita memiliki sikap yang benar, maka kita tentu tidak mau melakukan hal
yang salah. Namun sekalipun kita sudah melakukan tindakan yang benar, belum
tentu sikap kita benar pula pada saat melakukan hal tersebut. Jadi ketika Tuhan
Yesus berkata "Jangan menghakimi", apakah Ia sedang mengajarkan kita,
sebagai contoh, untuk membutakan mata terhadap dosa yang terjadi di tengah
jemaat? Ketika dosa terjadi di dalam Persekutuan Jemaat, saat ada perkara
kesalahan yang serius terjadi di dalam jemaat, sebagai contoh, memberi
penghormatan karena seseorang adalah orang penting di dunia, atau dosa yang
lebih parah daripada itu, apakah kita harus membutakan mata kita dan berkata,
"Saya tidak boleh menghakimi. Orang itu boleh berbuat dosa, semua orang
boleh berbuat dosa, itu semua bukan urusan saya?” Atau mungkin ada seorang nabi
palsu yang datang dan mengajarkan kesesatan kepada kita, haruskah kita berkata,
"Saya tidak dapat menghakimi, biarkan saja dia mengajar sesuka
hatinya"? Atau jika ada serigala berbulu domba yang masuk ke tengah jemaat
dan memangsa domba-domba, kita hanya berkata, "Tidak dapat kita menghakimi
dia. Kita menyebut dia serigala berbulu domba, berarti kita sudah menghakimi
dia. Lebih baik saya tutup mulut."
Jadi kita
melihat bahwa perkataan Tuhan Yesus "Jangan menghakimi" tidak
dimaksudkan agar kita menutup mata terhadap dosa. Lebih dari itu, khususnya
bagi para pengajar, ada tanggungjawab yang besar untuk bertindak melawan dosa,
melawan dosa yang hendak menjerat jemaat secara keseluruhan. Di dalam
Perjanjian Lama kita melihat para nabi, hamba-hamba Allah, berseru kepada
segenap bangsa Israel, mengutuk dosa-dosa yang dilakukan oleh bangsa Israel.
Tentu saja orang Israel tidak akan mencintai nabi-nabi tersebut karena teguran
mereka yang keras itu. Yeremia dilemparkan ke dalam lubang dan diharapkan mati
di sana, untunglah ada orang yang datang dan menolongnya. Bangsa Israel
membenci para nabi karena mereka berteriak keras terhadap dosa-dosa.
Berbicara dengan
Sikap yang Dilandasi oleh Kasih dan Kepedulian yang mendalam
Jadi ketika
Tuhan Yesus berkata "Jangan menghakimi", Ia tidak menyuruh kita untuk
membutakan mata terhadap dosa namun kita harus menyerang dosa dengan sikap yang
benar. Lebih dari itu, rasul Paulus berkata kepada kita bahwa para pimpinan Persekutuan
Jemaat memiliki tanggungjawab untuk menghakimi jemaat. Apakah lalu kita
mendapati suatu pertentangan antara ucapan Paulus bahwa "ia
menghakimi" dan di pihak lain Yesus berkata, "Jangan
menghakimi"? Di dalam 1 Korintus 5:3, rasul Paulus berkata, "Telah
menjatuhkan hukuman atas dia". Yaitu terhadap orang yang telah melakukan
satu dosa besar di dalam jemaat; melakukan hubungan seksual dengan anggota
keluarga sendiri. Paulus di sini mengumumkan penghakiman dan menjatuhkan
hukuman atas orang yang melakukan dosa yang mengerikan ini. Bagaimana mungkin
Paulus menjatuhkan hukuman padahal Tuhan Yesus berkata "jangan
menghakimi"? Itulah sebabnya mengapa kita perlu memahami hal penting yang
pertama dari pernyataan itu. "Tidak menghakimi" menurut Tuhan Yesus
berkaitan erat dengan masalah sikap.
Hal yang kedua
perlu kita pahami sejalan dengan penelaahan kita terhadap ajaran Tuhan adalah
melihat konteksnya secara keseluruhan. Yesus berkata kepada murid-muridNya
untuk tidak menghakimi, namun di dalam lingkungan Persekutuan Jemaat ada
beberapa orang yang diberi tanggungjawab besar untuk menghakimi. Jadi, tidak
menghakimi merupakan satu pedoman umum, namun ada beberapa orang di dalam Persekutuan
Jemaat, seperti tua-tua dan para pemimpin yang lain yang memegang tanggungjawab
untuk menghakimi sebagaimana contoh yang terdapat di dalam 1 Timotius 5:17.
Dalam hal
menghakimi. Kata "hakim" di sini dipahami dalam pengertian mengutuk,
yaitu menjatuhkan hukuman ke atas seseorang atau menetapkan hukuman yang akan
dijatuhkan atas seseorang. Jadi kita dapati di sini bahwa menghakimi, mengutuk,
secara jelas bertentangan dengan keselamatan, dikaitkan dengan isi Matius pasal
7. Di dalam Yohanes 12:47, kita dapati bahwa Tuhan Yesus datang bukan untuk
menghakimi tetapi untuk menyelamatkan. Di sini kita dapati ada perbedaan antara
menghakimi dengan menyelamatkan, antara mengutuk dan menyelamatkan, antara
mengucilkan seseorang dengan memaafkan dosanya. Kita lihat bahwa pada saat kita
menghakimi, mengutuk seseorang, maka kita tidak sedang mempedulikan
keselamatannya. Jadi semua itu menunjukkan kepada kita bahwa sikap kita
terhadap saudara seiman tidak boleh dilandasi oleh pikiran bahwa kita lebih
baik daripada mereka. Jika seorang pendeta merasa lebih baik daripada orang
lain di dalam Persekutuan Jemaat, ia tidak layak menjadi pendeta. Di dalam
pengertian mengutuk, tidak ada seorangpun yang diberi kewenangan untuk itu di
dalam lingkungan jemaat. Namun di dalam pengertian menyatakan penghakiman
berdasarkan Firman Allah, kewenangannya diberikan kepada para hamba Allah. Akan
tetapi sekalipun demikian, pelaksanaanya tidak pernah dilakukan didalam
semangat untuk mengutuk, melainkan untuk menyelamatkan. Jadi di dalam 1
Korintus 5, sebagai contoh, ketika Paulus menghukum orang tersebut dengan
kebinasaan tubuh, tujuan akhirnya tetap agar supaya rohnya dapat diselamatkan,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Paulus dalam ayat yang sama. Tak seorangpun,
tidak satu manusiapun diberi kewenangan untuk mengutuk atau menjatuhkan hukuman
secara final, yang berarti memisahkan orang tersebut dari keselamatan.
Kasih kepada
Diri Sendiri Membutakan Kita dari Kenyataan Hidup Kita
Tuhan Yesus
mengajukan pertanyaan ini: mengapa kamu melihat selumbar di mata saudaramu
tetapi balok di matamu sendiri tidak kau lihat? Ini adalah pertanyaan yang
menarik, mengapa? Apa jawaban Kita terhadap pertanyaan ini? Mengapa kita begitu
terampil dalam melihat kesalahan orang lain namun buta terhadap kesalahan
sendiri? Lalu apa jawaban kita terhadap pertanyaan Yesus ini? Jika kita mencoba
untuk mencari jawaban atas pertanyaan ini, kita akan mendapati bahwa Kita
sedang disoroti oleh mata rohani yang sedang menyelidiki isi hati kita.
Jawabannya
jelas, dan jawaban itu adalah karena kita sebenarnya tidak pernah mengasihi
orang tersebut sama sekali. Dan mengapa kita tidak dapat melihat balok di mata kita
sendiri? Itu karena kita mengasihi diri kita sendiri. Mengapa dikatakan
"cinta itu buta". Buta, mereka tidak dapat melihat kesalahannya.
Kasih seperti ini, jika kita mengasihi diri kita sendiri sedemikian rupa, maka
kita tidak akan dapat melihat kesalahan kita sekalipun sebuah balok melekat di
mata kita, kita tidak akan memperhatikannya. Karena kita tidak mengasihi orang
lain, maka semua kesalahan mereka akan langsung tampak.
Ditulis Oleh : Bp. Yohanes Sihombing
…(bersambung)…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar